PERSADARIAU, PEKANBARU —Momentum tahun politik 2024 diharapkan menjadi penentu arah berbagai kebijakan menyangkut iklim, perlindungan lingkungan hidup, dan memastikan keamanan rakyat atas sumber penghidupannya. Sayangnya, Pemilu 2024 masih jauh dari harapan tersebut. Visi-misi, program, hingga rekam jejak para kandidat masih didominasi kuasa oligarki. Hal ini yang mengakibatkan, suasana jelang Pemilu 2024 masih diwarnai praktik perampasan wilayah kelola rakyat, hingga kriminalisasi. Keadaan ini tidak terlepas dari dominasi orang-orang yang ambil bagian dalam situasi timpang berpartisipasi pada Pemilu 2024. Bahkan mereka tidak segan melahirkan manipulasi narasi investasi untuk kesejahteraan rakyat. Contohnya, seperti gaungan narasi hilirisasi.
Cerita di atas, digambarkan WALHI Riau dalam potret situasi nasional dan lokal hingga proyeksinya ke depan pada publikasi Tinjauan Lingkungan Hidup (TLH) WALHI Riau 2024. Publikasi yang diberi judul “Bahu Membahu Mewujudkan Keadilan Ekologis di Bumi Melayu” ini diluncurkan pada Rabu, 31 Januari 2024 di sekretariat WALHI Riau. Judul tersebut dipilih dengan alasan untuk memberi sinyal kepada masyarakat Melayu dan masyarakat yang berdiam di tanahnya untuk berjuang bersama mewujudkan daulat penuh atas sumber daya alam dan memastikan spesies dan ekosistem mendapat perlindungan dari proses elektoral ini.
Paparan TLH dimoderatori oleh Ahlul Fadli dengan narasumber Eko Yunanda-Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim, Fandi Rahman-Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi WKR, Umi Ma’rufah-Manajer Pengembangan Program dan Kajian, dan Sri Wahyuni-Dewan Daerah WALHI Riau.
Penting Menekan Laju Deforestasi dan Degradasi Lingkungan Hidup
Provinsi Riau masih mengalami ketimpangan ruang, setidaknya ±55,62% wilayah Riau masih dikuasai investasi. Kondisi ini berbanding terbalik dengan legalitas wilayah kelola rakyat yang hanya 2,53% dari luas daratan Riau. Ini menunjukkan kebijakan Perhutanan Sosial (PS) dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) belum mampu mengatasi kondisi ketimpangan. Bahkan program Riau Hijau yang dipromosikan Pemerintah Provinsi Riau belum mampu menekan laju deforestasi dan degradasi lingkungan hidup.
”Mamun Murod, saat menjabat Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau menargetkan 932ribu ha untuk skema PS hingga 2024. Target ini masih di bawah angka yang tertuang pada target Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial (PIAPS) yaitu 1,2 juta ha. Realisasinya pun hanya sekitar 160ribu ha. Artinya, kepemimpinan Syamsuar dan Edi Natar belum mampu melakukan pemulihan lingkungan hidup di Provinsi Riau,” ujar Eko Yunanda, Manajer Kampanye dan Pengarusutamaan Keadilan Iklim.
Selain itu, 47,92% daratan di Riau sudah dikuasai perkebunan kelapa sawit. Komoditas ini menempati posisi teratas yang mendominasi penguasaan lahan di Riau. Perkebunan sawit dimiliki oleh pengusaha dan cukong dengan izin ribuan ha dari negara. Sayangnya terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang menambahkan ketentuan Pasal 110A dan 110B dalam Undang-Undang 18/2013 memberikan insentif kepada pelaku usaha untuk menyelesaikan persoalan aktivitas usaha perkebunan kelapa sawit yang berada di kawasan hutan. Insentif itu menghapus pertanggungjawaban pidana aktivitas ilegal di kasawan hutan, termasuk perkebunan kelapa sawit dan pertambangan.
Pada sektor Hutan Tanaman Industri (HTI), terdapat 45 unit perizinan dengan konsesi seluas 1.512.138,92 ha yang terafiliasi dengan grup Asia Pulp & Paper (APP) dan Asia Pacific Resources International Limited (APRIL). Meski telah memiliki komitmen berkelanjutan FCP12 dan SMFP 2.0, namun dalam praktiknya kebakaran hutan dan lahan, eksploitasi lahan gambut, areal kerja pada pulau kecil dan pesisir, hingga konflik di areal kerja perusahaan HTI di bawah grup APP dan APRIL terus terjadi dan belum terselesaikan. Terkait kebijakan Energi Baru Terbarukan (EBT), Hingga 50 tahun kedepan, Provinsi Riau masih bergantung pada energi fosil yang akan meningkatkan penggunaan Batubara. Pemanfaatan EBT lainnya mengandalkan Bahan Bakar Nabati (BBN) yang berasal dari cangkang dan limbah cair kelapa sawit untuk pembangkit listrik. Kebijakan ini akan meningkatkan resiko kerusakan lingkungan hidup yang makin parah.
Bahu Membahu Berjuang di Pulau-Pulau Kecil dan Pesisir
Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut Mei 2023 lalu menuai kritik. Pada dasarnya sedimentasi ini penting bagi organisme dasar (demersal), karena mengandung berbagai sumber makanan, sebagai habitat dan tempat pemijahan. Namun aturan ini memberi celah untuk ekspor pasir laut yang akan mematikan sumber pendapatan nelayan dari hasil laut. Hal inilah yang dikeluhkan oleh nelayan Pulau Rupat Utara. Aktivitas tambang dari PT Logomas Utama (LMU) yang izinnya dicabut telah merusak ekosistem sedimentasi laut yang membentuk beting-beting, sehingga membuat hasil tangkapan laut nelayan menurun drastis. Meskipun izin LMU telah dicabut, ada setidaknya 7 perusahaan yang tengah menanti legalitas untuk menambang pasir laut di perairan Dumai dan Rupat, sehingga ancaman aktivitas tambang pasir laut itu tetap ada.
Di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) angkanya lebih fantastis. Dari hasil olah data yang dilakukan oleh tim WALHI Riau di Kepri, menemukan setidaknya ada ±44 titik Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang dicadangkan untuk pertambangan pasir laut di Provinsi ini di tahun 2023. Kondisi ini tentu akan memperparah daya dukung dan daya tampung lingkungan Provinsi Kepri sebagai provinsi dengan gugusan pulau kecil.
“Jika sumber daya alam dirampas untuk kepentingan investasi, akan menurunkan kualitas lingkungan hidup dan mempersulit nelayan mencari hasil laut,” kata Fandi Rahman, Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi WKR.
Masuknya Pulau Rempang dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023 yang akan membangun pabrik kaca terbesar di Asia Tenggara melalui investasi Tiongkok, Xinyi International Investment Ltd juga akan menambah beban ekologis Kepri. Rencananya, investasi ini akan menggusur 16 kampung tua. Penolakan muncul dari semua kalangan, khususnya kelompok perempuan. Perempuan Pulau Rempang memimpin perlawanan untuk menolak relokasi atau penggusuran, karena mereka tidak mau ruang hidupnya diganti dengan pembangunan mega proyek Rempang Eco-city. Mereka sadar, laut dan hasil alam lainnya lah yang membuat mereka bertahan di saat kondisi ekonomi sulit ditebak. Laut bagi kelompok perempuan merupakan sumber nafkah.
Memenangkan Agenda Publik di Pemilu 2024
Pesta demokrasi tahun ini rupanya masih tetap sulit mengubah pembaharuan dan pemulihan, khususnya Riau secara signifikan. Prinsip kriteria lesser evil dan melihat rekam jejak, perlu dilakukan dalam menentukan pilihan. Pertimbangan rekam jejak kandidat dan partai pengusung dapat menjadi tolak ukur seberapa besar tingkat keburukan para paslon. Muaranya, adalah menghindarkan hal terburuk terjadi, paling tidak, kriteria tersebut masih membuka ruang melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang dapat berdialog dan mempertimbangkan tuntutan keadilan yang disuarakan rakyat. ”Guna membangun kesadaran memilih yang terbaik dari yang terburuk, TLH WALHI Riau menyajikan sekilas gambaran terkait komitmen lingkungan hidup dan agraria dari masing-masing paslon, serta para oligarki yang berada di balik ketiganya,” kata Umi.
Misalnya dalam merespon isu krisis iklim. Pasangan nomor urut 1, Anies-Muhaimin, menitikberatkan pada aspek ketahanan energi dan menempatkannya sebagai bagian dari upaya pemenuhan ketersediaan kebutuhan pokok yang terjangkau. Pasangan nomor 2, Prabowo-Gibran, mengutamakan tercapainya swasembada energi sebagai prioritas bersama dengan swasembada pangan. Dan pasangan nomor 3, Ganjar-Mahfud, menekankan pada transisi energi di dalam bingkai ekonomi hijau sebagai instrumen penting guna mewujudkan lingkungan hidup yang berkelanjutan. “Apakah masing-masing calon sudah menyentuh akar persoalan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan dan ketimpangan, itu kembali lagi kepada publik menilainya,” Ujar Umi Ma’rufah-Manajer Pengembangan Program dan Kajian.
Dengan komposisi pendukung para capres-cawapres yang memperlihatkan dominasi oligarki di tengah situasi krisis, membuat kita pesimis akan adanya perubahan lebih baik dalam kebijakan terkait lingkungan hidup dan HAM. ”Untuk itu, pengarusutamaan tuntutan keadilan di tanah melayu terus WALHI Riau lakukan. Menjelang Pemilu 2024 yang tinggal menghitung hari, kita harus bisa cerdas dan teliti dalam memilih, serta turut mengedukasi yang lain agar menghindarkan negara ini dari yang terburuk. Terlepas dari siapa yang akan terpilih, mari kita terus berjuang bersama memenangkan keadilan ekologis, khususnya di bumi melayu,” tutup Sri Wahyuni, Dewan Daerah WALHI Riau.