PERSADARIAU, JAKARTA — Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Fadhil Hasan menyoroti sedikitnya lima isu utama yang perlu menjadi perhatian dalam hubungan perdagangan sawit Indonesia dan India. Hal ini disampaikan dalam webinar Palm Oil as a Strategic Corridor: Strengthening Indonesia-India Economic and Trade Cooperation yang digelar INDEF pada Senin (22/9/2025).
Fadhil mengungkapkan, isu pertama adalah penurunan signifikan impor India terhadap minyak sawit Indonesia sejak 2024. Sepanjang Januari hingga Juni 2025, volume impor tercatat turun sekitar 28 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya. Menurutnya, kondisi ini dipicu lonjakan harga sawit di pasar internasional.
“India dikenal sebagai pasar yang sensitif terhadap harga. Begitu harga sawit lebih tinggi atau setara dengan minyak nabati lain, mereka cenderung beralih ke kedelai,” jelas Fadhil.
Isu kedua terkait meningkatnya konsumsi domestik sawit Indonesia akibat kebijakan mandatori biodiesel. Saat ini Indonesia telah menerapkan B40, yang dikhawatirkan India akan terus menekan ketersediaan pasokan ekspor.
“Kita belum tahu 2026 ini apakah akan ada perubahan dari B40 ke B50 atau sebaliknya turun. Hal ini menjadi salah satu faktor yang memengaruhi impor India,” ujarnya.
Selain itu, India juga tengah mendorong swasembada minyak nabati dengan target 2040. Upaya tersebut mencakup peningkatan produksi sawit domestik, yang menurut Fadhil justru bisa menjadi peluang kerja sama bagi Indonesia.
“Mereka butuh benih sawit berkualitas, dan Indonesia bisa berperan besar di situ. Jadi, tidak perlu melihatnya semata sebagai ancaman,” katanya.
Isu ketiga adalah inkonsistensi kebijakan tarif India yang dinilai menyulitkan prediksi ekspor. Fadhil menekankan perlunya policy dialogue yang intensif untuk memastikan adanya kepastian dan konsistensi regulasi.
“Ketika tarif sering berubah, sulit bagi eksportir untuk merencanakan volume. Kita sudah mulai kampanye positif dua tahun terakhir di India, salah satunya lewat dialog kebijakan,” katanya.
Isu keempat menyangkut persepsi keliru di masyarakat India bahwa sawit inferior dibanding minyak nabati lain. Padahal, menurut Fadhil, dari sisi kesehatan sawit memiliki keunggulan. “Ini perlu diluruskan melalui edukasi publik agar sawit dipandang sejajar, bahkan lebih baik dibanding nabati lain,” paparnya.
Terakhir, India kini mulai menuntut praktik keberlanjutan dalam produk sawit yang diimpor, sejalan dengan tren global. “Kalau dulu India hanya menekankan harga murah, sekarang mereka juga menuntut sustainability. Ini sejalan dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi,” ucapnya.
Fadhil menekankan, hubungan perdagangan sawit Indonesia–India harus melampaui aspek jual-beli semata (go beyond trade). Kerja sama perlu diperluas mencakup penelitian, investasi, kampanye bersama, hingga penguatan standar keberlanjutan.
“Dialog kebijakan harus terus dijaga. Kalau kebijakan tarif tidak konsisten, yang rugi bukan hanya kita, tetapi juga masyarakat India sendiri karena akan memicu inflasi,” pungkasnya.
Sumber : Majalah Sawit Indonesia