PERSADARIAU, PEKANBARU – Dewan Perwakilan Daerah Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Pemantau Kinerja Aparatur Negara (DPD LSM Gempur) Provinsi Riau, lagi-lagi mencium aroma dugaan korupsi pengelolaan uang rakyat yang bersumber dari pajak dan retribusi daerah di DPRD Kota Pekanbaru.
“Aroma busuk dugaan korupsi kali ini tercium dari Gedung wakil rakyat Kota Pekanbaru, sehingga hal ini menambah keprihatinan kami, yang mana saat ini hangat terdengar di telinga kita berita dugaan korupsi dari gedung DPRD Provinsi Riau, tentang SPPD fiktif yang saat ini sedang intens ditangani oleh Ditreskrimsus Polda Riau,” kata Ketua DPD LSM Gempur Provinsi Riau, Selasa (23/7/24).
“Bagaimana mungkin dugaan perbuatan tindak pidana korupsi dapat terjadi di gedung tempat kerja wakil rakyat dalam menjalankan fungsi legislatifnya, di mana salah satu tugasnya adalah pengawasan,” sebut Arif penuh tanya.
“Jujur, peristiwa yang terjadi saat ini sangat memprihatinkan dan dapat berjalan baik atau mungkinkah wakil rakyat kita ini ikut terlibat menikmati hasil dari korupsi itu?” ucap Hasanul Arifin.
Berdasarkan dari pantauan LSM Gempur, saat ini ada beberapa dari semua kegiatan pengadaan barang dan jasa tahun anggaran 2024, baik yang sudah, sedang dan atau akan berjalan yang di Bagian Umum pada Sekretariat DPRD Pekanbaru yang dinahkodai Kepala Bagian Umum, Jon Hendri.
“Nanti saya akan kupas semuanya, salah satu diantaranya yaitu anggaran dari objek belanja pemeliharaan gedung dan bangunan senilai lebih Rp 2,5 miliar. Menurut kami diduga paket kegiatan dan anggarannya dianggarkan dengan DPA utuh, artinya dalam satu mata anggaran pengeluaran,” kata Arif.
Selanjutnya beber Arif, “untuk menghindari metode pemilihan secara tender, kami menduga pejabat terkait atau sebagai PPK kegiatan, dengan sengaja memecah anggaran dari kegiatan ini menjadi beberapa kegiatan (proyek), untuk tujuannya agar kegiatan bisa dikerjakan dengan dengan metode pemilihan pengadaan langsung dan metode e-purchasing“.
Pemuda yang dikenal dengan panggilan Bung Arif ini juga mengatakan, “dapat diduga pemecahan anggaran proyek di bawah Rp 200 juta itu dijadikan celah agar dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak terkait seperti PPK, Penyedia (rekanan) dan pengelola pengadaan barang dan jasa lainnya untuk melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dari anggaran kegiatan tersebut”.
Jika itu terjadi, lanjut Arif, tentunya tidaklah baik untuk suatu pemerintahan dan dapat dikategorikan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi”.
“Adapun Definisi Pasal tersebut memuat unsur-unsur, secara melawan hukum, memperkaya diri sendiri, kelompok atau korporasi yang berakibat dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara/daerah dapat masuk bui,” katanya.
“Banyak sumber informasi dari lembaga penegak hukum yang kita lihat dan dengar selama ini. Penyimpangan dalam proses pengadaan barang dan jasa yang merugikan keuangan negara merupakan bentuk kejahatan tindak pidana korupsi,” ulasnya.
Masih Arif, adapun modus operandi yang kerap dimainkan oleh oknum pejabat bermental “buruk” diantaranya, “penyuapan, memecah-mecah atau menggabung paket, penggelembungan harga hingga mengurangi kualitas dan kuantitas barang dan jasa”.
Tukas Arif, “pemecahan anggaran kegiatan itu juga membuat pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan menjadi tidak efektif dan efisien serta mengakibatkan pemborosan keuangan negara karena setiap pelaksanaan paket kegiatan ada komponen biaya honor untuk orang-orang yang terlibat”.
“Dan Etika pengadaan jelas menegaskan bahwa rekanan maupun pengelola pengadaan secara tegas dilarang melaksanakan pengadaan barang/jasa yang dapat mengakibatkan pemborosan keuangan negara,” katanya.
Berdasarkan dengan yang saya uraikan tersebut kata Arif, “kami menduga pelaksanaan anggaran dan kegiatan pengadaan barang dan jasa yang dikelola bagian umum dengan dikomandoi kepala bagian Jon Hendri itu diduga syarat dengan kolusi dan korupsi yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif”.
“Lain daripada itu dengan mengacu pada manfaat, luasan dan waktu pelaksanaan objek kegiatan serta dugaan memecah kegiatan(proyek) kami menduga Modus Operandi seperti penyuapan dan atau fee proyek, penggelembungan harga, pemborosan dan kegiatan fiktif hingga mengurangi kualitas dan kuantitas barang dan jasa kuat terjadi pada kegiatan (proyek) ini,” katanya.
“Untuk itu selanjutnya saya meminta kepada institusi lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Tinggi dan Kepolisian Daerah Riau untuk dapat memanggil dan memeriksa PPK, Rekanan Penyedia dan pejabat lainnya yang terkait dengan anggaran dan kegiatan pengadaan barang dan jasa ini. Selanjutnya Sikap dan langkah Kami segera menyusun dokumen untuk melaporkan secara resmi kepada institusi penegak hukum,” pungkas Arif.
Terpisah, Jon Hendri selaku Kepala Bagian Umum saat dikonfirmasi media perihal dugaan penyimpangan pengelolaan anggaran yang dikelola pihaknya mengatakan, proses pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakan sudah sesuai dengan regulasi yang berlaku.
“Terkait hal tersebut kita sesuai dengan peraturan berlaku terkait pengadaan barang dan jasa, bahwa kegiatan tersebut dipecah karena ruangannya berbeda luas dan kebutuhannya,” ujar Jon Hendri, (24/7/24).
“Karena itu ada perencanaan dan rencana anggaran biaya (RAB) setiap ruangan yg di renovasi. Maka itu kita lakukan pengadaan langsung. Untuk kegiatan yang membutuhkan anggaran besar dan luas besar kita lakukan e-catalog,” tutupnya.***