PERSADARIAU, PEKANBARU – Orang muda Riau melakukan aksi di bundaran Tugu Zapin menolak solusi palsu krisis iklim yang ditawarkan forum KTT Iklim atau Conference of the Parties (COP) ke-29 yang berlangsung di Azerbaijan.
Aksi ini menilai COP 29 tidak memprioritaskan upaya penanggulangan dampak krisis iklim, hal ini terlihat dari agenda setiap negara masih didominasi oleh kepentingan elit, perusahaan perusak lingkungan dan penyumbang emisi global. Hingga pertemuan ke-29 hasilnya masih jauh dari solusi nyata dan keseriusan untuk keluar dari krisis iklim.
Aksi yang diikuti oleh tiga organisasi mahasiswa pecinta alam (Mapala) yaitu Wanapalhi USTI, Mapala Humendala FEB UNRI dan Mapala Suluh FKIP UNRI sampaikan tuntutan keadilan iklim melalui poster dan spanduk pada tiga sisi lampu lalu lintas di bundaran Tugu Zapin, (22/11/24).
Selain menyampaikan tuntutan keadilan iklim, peserta aksi juga turut mengingatkan masyarakat Riau untuk bijak dalam menggunakan hak pilihnya dalam Pilkada serentak untuk memilih calon pemimpin yang menaruh isu iklim sebagai prioritas dalam penyusunan kebijakan. Karena hak pilih masyarakat sangat menentukan masa depan bumi dan kehidupan generasi berikutnya.
Miftahul Ulum, anggota Wanapalhi USTI menyebutkan COP-29 kali ini tidak serius mengatasi krisis iklim. Terlihat dari penentuan Azerbaijan yang menuai kritik.
Saat ini Azerbaijan menerapkan standar ganda mendukung kuat transisi energi, tetapi tetap realistis mengenai sumber daya khususnya gas bumi.
Hal ini tentu jadi perdebatan mengenai peran bahan bakar fosil yang sudah jelas ditolak masyarakat sipil dan mendorong kebijakan “Phase Out” energi fosil. Selain itu, Azerbaijan juga memiliki riwayat pelanggaran HAM, tuduhan genosida, dan agresi militer terhadap masyarakat Nagorno-Karabakh.
“Penunjukan Azerbaijan sebagai tuan rumah adalah keputusan keliru karena Azerbaijan masih mendukung penggunaan bahan bakar fosil. Hal ini bertentangan dengan komitmen “Phase Out” energi fosil yang seharusnya menjadi pembicaraan pada COP-29,” ujar Ulum.
Imam Yoemil Aziz, Anggota Mapala Humendala FEB UNRI menyebut COP hanya gimik upaya penyelamatan dunia dari krisis iklim. COP tidak lebih dari sekadar pertemuan kongsi dagang yang melihat peluang bisnis dari situasi krisis iklim.
Padahal Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), organisasi internasional yang berfokus pada perubahan iklim pada laporan sintesis tahun 2023 menyatakan bahwa upaya yang dilakukan selama ini belum mampu mengatasi krisis iklim terlebih tantangannya semakin besar akibat emisi gas rumah kaca yang terus meningkat.
Selain itu The Guardian dalam publikasinya pada tahun ini menyampaikan bahwa 80% ilmuan IPCC memperkirakan kenaikan suhu bumi akan mencapai 2,50 hingga 30°C.
“Forum COP hanya gimik belaka. Tidak ada upaya nyata yang ditawarkan. Hasil riset kongkret terkait kondisi iklim saat ini tidak menjadi pertimbangan pada forum COP-29. Padahal para ilmuan telah membayangkan jika kondisi ini terus dibiarkan kita akan menghadapi masa depan yang “semi-distopia” dengan bencana kelaparan, konflik, dan migrasi massal, gelombang panas, kebakaran hutan, banjir, dan badai dengan intensitas dan frekuensi yang jauh melampaui yang pernah terjadi sebelumnya. Tanpa mitigasi perubahan iklim secara cepat, mendalam dan berkelanjutan akan memperparah dampak buruk krisis iklim yang diproyeksikan akan terjadi di Afrika, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan serta Asia, termasuk di Indonesia,” ucap Imam.
Sakina Alma Sadira, perwakilan orang muda mengingatkan masyarakat Riau khususnya kelompok perempuan untuk terus mendesak negara menjadikan isu iklim sebagai prioritas dalam penyusunan kebijakan, salah satunya dengan memanfaatkan forum COP-29.
Hal ini yang tidak dilakukan oleh Hashim Djojohadikusumo sebagai perwakilan Indonesia pada forum tersebut. Ia malah mempromosikan potensi kredit karbon dari hutan dan potensi techno-fix seperti Carbon Capture and Storage (CCS) atau Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS) dan geoengineering yang akan memperburuk kondisi iklim, menambah daftar perampasan ruang hidup masyarakat dan kriminalisasi serta memperkuat komodifikasi terhadap alam.
“COP kali kembali mengingatkan kita sebagai masyarakat untuk bijak dalam memilih calon pemimpin. Perwakilan Indonesia dalam COP-29 merupakan salah satu dampak atas pilihan yang kurang bijak sehingga menghasilkan kebijakan yang keliru dan menempatkan masyarakat sebagai korban krisis iklim, terutama kami orang muda dan kelompok perempuan. Jika kondisi ini terus dibiarkan maka kita akan mewariskan lingkungan yang buruk bagi generasi berikutnya. Pilkada serentak dapat menjadi momentum bagi masyarakat Riau, khususnya orang muda untuk bijak dalam memilih dengan menerapkan pilah, pilih, pulih. Wujudkan keadilan iklim sekarang demi terwujudnya keadilan antar generasi!” tutup Sakina. ***