Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) mendukung ide Megawati Soekarnoputri ingin mempopulerkan panggilan ‘bung’. Panggilan ‘bung’ dinilai bisa menghilangkan mental feodalisme yang gila hormat.
Lalu jajaran pengurus, redaksi dan wartawan media elektronik Persada Riau memilih sapaan ‘bung’ digunakan sebagai panggilan antara sesama, baik didalam komunikasi internal maupun tongkrongan sehari-hari.
Pemimpin redaksi Persada Riau sendiri memahami panggilan ‘bung’ memiliki filosofis yang dalam dan memiliki sejarah yang kuat dengan sang proklamator Indonesia, bung Karno atau Ir. Soekarno.
Bung Karno dikenal dengan ahli filsafat sosial, buah pikiran nya tidak pernah lepas dengan “ruh” kepedulian terhadap sosial keberlangsungan. Memiliki makna yang sangat dalam.
“Sapaan ‘bung’ memiliki makna yang egalitarian (kesetaraan). Bung Karno dan Bung Hatta dipanggil bung, tidak dipanggil dengan gelar yang lain, misalnya selalu ingin dipanggil paduka yang mulia,” kata Wakil Kepala BPIP Profesor Hariyono dikutip dari detik.com Senin, (16/8).
Ia menjelaskan sapaan bung sudah digunakan dalam pergerakan nasional sebelum Indonesia merdeka.
“Sapaan ‘bung’ sudah ada sejak zaman pergerakan nasional sebelum merdeka. Itu adalah antitesis terhadap struktur ekonomi politik kolonial. Dulu, ada kelas Eropa sebagai yang tertinggi, ada Timur Asing, dan ada pribumi,” kata Hariyono.
Sapaan bung mencoba menghancurkan kelas-kelas sosial yang dibangun sejak era feodalisme dan dilestarikan penguasa kolonial. Pancasila kemudian digali Bung Karno dan memuat sila ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ dan ‘Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia’ yang bersifat egaliter.
“Ini sesuai konsep sila ke-2. Kita tidak menyembah orang lain meski juga tetap menghormati orang lain,” ujarnya.
“Mental feodal atau neofeodalisme di pemerintahan harus dihilangkan. Lihatlah, elite politik, ekonomi, sosial, bahkan agama tidak melayani rakyat maupun umat. Ini menurut saya, orang yang punya kedudukan memang harus kita hormati, tapi tidak harus dikultuskan, kemudian rakyat cuma menjadi objek belaka,” kata Hariyono.