PERSADARIAU, PEKANBARU – Pemblokiran massal terhadap rekening-rekening pasif (dormant) milik nasabah yang tidak melakukan transaksi lebih dari tiga bulan, sangat merepotkan masyarakat.
Seperti yang dialami seorang wanita paruh baya warga Provinsi Riau, Nurhayati. Dia seketika kebingungan saat mengetahui rekening bank miliknya diblokir.
“Saat saya ingin menarik tunai dana di bank, ternyata tidak bisa. Karena rekening saya diblokir dan saya kaget sewaktu pegawai bank bilang rekening saya diblokir,” ujar Nurhayati (2/7/25).
Menurut penjelasan petugas bank BUMN itu, rekening atas nama nasabah ini tidak aktif atau tidak ada transaksi selama 6 (enam) bulan terakhir.
Hal tersebut diakui Nurhayati, dia menceritakan kondisi itu bermula sejak kegiatan usahanya mengalami kesulitan lebih dari satu tahun belakangan ini.
Seiring berjalannya waktu aktivitas transaksi keuangan pada rekeningnya juga semakin berkurang dan nihil hingga saat sekarang.
Namun kini akun bank miliknya sangat dibutuhkan Nurhayati. Sebab, dia menerima sejumlah uang dari hasil pembagian warisan peninggalan orangtuanya.
“Saya perlu duit itu untuk menunaikan kewajiban saya yang belum terselesaikan akibat kegiatan-kegiatan yang terbengkalai dulu,” ucapnya.
Sebelumnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan rekening dormant lebih dari 140 ribu rekening yang tidak aktif selama lebih dari 10 tahun.
Dengan total nilai mencapai Rp 428.612.372.321, tanpa ada pembaruan data nasabah.
“Ini membuka celah besar untuk praktik pencucian uang dan kejahatan lainnya, yang akan merugikan kepentingan masyarakat atau bahkan perekonomian Indonesia secara umum,” kata Koordinator Kelompok Substansi Humas PPATK M Natsir Kongah di Jakarta, Rabu (30/7/25).
Kebijakan ini disebut-sebut dilakukan untuk melindungi masyarakat dari penyalahgunaan rekening, termasuk dalam praktik judi Daring (dalam jaringan).
Akan tetapi, mantan Menteri Koordinator Polhukam sekaligus pakar hukum Tata Negara Prof Mahfud MD menyebut langkah tersebut sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan.
“Menurut saya PPATK sudah melakukan pelanggaran kewenangan yang serius yang bisa digugat itu ke pengadilan. Karena memblokir rekening orang itu tidak boleh dengan ukuran yang sifatnya ukuran umum. Ukuran umum itu apa? Barang siapa rekeningnya tidak bergerak tiga bulan akan dibekukan, itu jahat. Terlalu jahat itu,” ujarnya, Jumat (1/8/25), dilansir Republika.co.id.
Mahfud menekankan pemblokiran rekening hanya bisa dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang, yaitu Bank Indonesia, Menteri Keuangan, atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dilanjutkannya, PPATK memang memiliki kewenangan serupa. Namun hal itu harus berdasarkan adanya dugaan tindak pidana yang jelas.
“PPATK juga boleh, tapi atas izin, instruksi-instruksi itu kalau ada dugaan. Kalau ada dugaan tindak pidana di dalam rekening itu. Lah ini? Pokoknya setiap rekening yang tiga bulan tidak bergerak itu diblokir,” kata Mahfud.
Mahfud menilai keputusan PPATK tersebut bukan hanya gegabah, melainkan diduga kuat dilakukan atas tekanan atau perintah dari kekuatan tertentu.
Dia menerangkan pemblokiran rekening seharusnya dilakukan secara selektif dan berdasarkan bukti awal yang cukup. Bukan beralaskan seperti “tidak aktif” tiga bulan.
Kemudian Mahfud mencontohkan praktik pemblokiran rekening dalam perkara dugaan tindak pidana yang pernah ditanganinya dahulu. Tindakan pemblokiran dilakukan dengan tetap mempertimbangkan hak dasar warga negara.
“Kalau ada dugaan pidana baru diblokir, itupun ada batasnya, diblokir lima hari lalu diperpanjang, itu pun setiap hari dicairkan kayak dulu kita saya memblokir rekeningnya Al-Zaitun. Itu setiap hari 10 persen boleh diambil agar orang tidak mati. Lah ini langsung ditutup,” ungkapnya.
Pakar hukum ini berpesan kepada PPATK untuk lebih teliti dengan tugasnya yang bermaksud melindungi tapi justru dapat menimbulkan keresahan publik.
“Gimana melindungi rakyat tapi memblokir rekening orang ditutup. Kalau ada dugaan, misalnya rekening tertentu ini mencurigakan, ya blokir dulu. Lalu diselidiki, gitu,” tandasnya.
Sus

