Penulis: Drs. Sri Radjasa Chandra, MBA, Pemerhati Aceh
PERSADARIAU, BANDA ACEH — Berawal dari Surat Edaran Gubernur Aceh Nomor: 421/11286 tentang Penguatan dan Peningkatan Pelaksanaan Syariat Islam bagi ASN dan Masyarakat di Aceh yang salah satu isinya memuat pembatasan waktu buka warkop dan kafe tidak lewat pukul 00.00, Sabtu (12/8/2023))
Dalam Surat Edaran Gubernur Aceh memuat tentang himbauan kepada pelaku usaha di Aceh, untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran Syariat Islam di tempat usahanya. Narasi Surat Edaran Gubernur Aceh, jika dicermati telah mendiskreditkan penerapan Syariat Islam yang dipandang memberi andil terjadinya keterpurukan ekonomi rakyat.Surat Edaran Gubernur, dapat dimaknai memiliki konotasi tudingan, bahwa warung kopi dan kafe adalah sumber terjadinya pelanggaran Syariat Islam.
Menanggapi hal diatas, rakyat dengan sinis melontarkan pertanyaan, bukankah sumber terjadinya pelanggaran Syariat Islam itu di instansi – instansi pemerintah, dirumah – rumah dinas pemerintah, mereka disana melakukan kesepakatan jahat untuk merampok dana pembangunan dan APBA yang sejatinya adalah milik rakyat.
Bukankah pelanggaran Syariat Islam termarak adalah korupsi dan kolusi yang dilakukan para pemangku kebijakan di Aceh, sehingga mengakibatkan Aceh terpuruk dalam kemiskinan, ditengah gelimangan anggaran yang amat besar.
Sementara usaha warkop dan kafe demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga yang halal, menurut Islam adalah salah satu bentuk ibadah, justru dihambat oleh kebijakan abal-abal yang mengeksploitir Syariat Islam.
Warkop dan kafe di Aceh buka 24 jam, sesungguhnya bukan keinginan para pelaku usaha, tapi merupakan tuntutan usaha ditengah lesunya ekonomi sector rill, agar tidak mengalami kerugian dan gulung tikar. Sudah saatnya Pemerintah Aceh lebih focus berani menuding diri sendiri sebagai pemicu terjadinya pelanggaran Syariat Islam dan upaya konkrit pengentasan kemiskinan.
Karena kemiskinan berpotensi terjadinya pelanggaran Syariat Islam.Moment ini sesungguhnya patut dijadikan pelajaran bagi Pj Gubernur Aceh, untuk memahami peran warung kopi sebagai center of gravity kehidupan social di Aceh, oleh sebab itu Surat Edaran Gubernur Aceh yang membatasi waktu buka warung kopi di Aceh, adalah tindakan extraordinary yang membunuh sentra-sentra kehidupan social rakyat Aceh.
Inilah saatnya Pj Gubernur Aceh menunjukan komitmen keberanian mengambil langkah yang pro rakyat, melalui pembatalan Surat Edaran tersebut.
Sebagaimana makna filosofi Pintu Aceh “Terbuka untuk kebaikan, Tertutup bagi kejahatan”. Sesungguhnya di tanah indatu sebesar apapun kejahatan tak akan bisa kuasa, tapi sekecil apapun kebaikan tak akan bisa binasa. Kepada Pj Gubernur Aceh, inilah moment yang tepat untuk menabur kebaikan bagi rakyat Aceh.Pemerhati Aceh.(*)