PERSADARIAU, PEKANBARU — Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) merilis Catatan Akhir Tahun (CAT) 2025 bertajuk “Setelah Bencana Ekologis Sumatera, Menata Ulang Tata Ruang dan Cabut Izin Korporasi di DAS”, Rabu (31/12/2025).
Dalam CAT 2025, Jikalahari menilai bencana banjir, longsor, dan kebakaran hutan di Sumatera, termasuk Riau, bukan semata akibat cuaca ekstrem, melainkan dampak kerusakan ekologis struktural akibat deforestasi, alih fungsi hutan, dan ekspansi konsesi di daerah aliran sungai (DAS).
Jikalahari mencatat deforestasi di Riau sepanjang 2025 mencapai 24.085 hektare, sementara sisa tutupan hutan alam hanya 1,31 juta hektare dan tidak ada satu pun kabupaten/kota yang memiliki tutupan hutan di atas 30 persen. Luas kebakaran hutan dan lahan juga melonjak menjadi 19.671 hektare, dengan ratusan titik panas berada di dalam konsesi kehutanan dan perkebunan sawit.
Selain itu, banjir dan longsor berulang terjadi di wilayah DAS Sungai Kampar, Rokan, Indragiri, dan Siak, yang dinilai berkaitan erat dengan penguasaan ruang oleh konsesi industri. Jikalahari juga mencatat konflik agraria antara masyarakat dan korporasi, krisis keanekaragaman hayati di kawasan konservasi seperti Taman Nasional Tesso Nilo, serta lambatnya realisasi perhutanan sosial.
Atas kondisi tersebut, Jikalahari mendesak Presiden Prabowo Subianto menetapkan status Bencana Nasional Banjir Sumatera, mengevaluasi tata ruang, serta mencabut izin korporasi kehutanan, perkebunan, dan pertambangan di seluruh DAS. Jikalahari juga meminta pemerintah pusat dan daerah memperkuat penegakan hukum, menyelamatkan hutan alam tersisa, serta mengakui dan memperluas ruang kelola masyarakat adat dan tempatan. FA/red

