Oleh : Dede Farhan Aulawi (Pengamat Perilaku Sosial)
PERSADARIAU – Jelang pelaksanaan pesta demokrasi yang rencananya akan digelar pada tahun 2024, ada fenomena yang sangat menarik di sekitar kita. Tiba – tiba jalanan dan tempat – tempat publik banyak dihiasi oleh aneka spanduk, poster, dan berbagai media publik lainnya yang menampilkan sosok diri seolah -olah peduli dengan rakyat. Seolah – olah mereka sangat peduli dengan kesulitan rakyat. Padahal saat rakyat menjerit dan berteriak tentang kesulitan yang dideritanya, kebanyakan mereka seolah menutup mata dan tidak peduli.
Bukan itu saja, di tahun politik ini nampaknya banyak fenomena “mendadak jadi alim”. Lihat saja mereka yang sehari – harinya tidak pakai kerudung, kopiah, surban, baju koko, dan lain – lain, kok tiba-tiba di berbagai spanduk, poster, dan media lainnya jadi alim. Kenapa mereka tidak tampil apa adanya ? Inilah fenomena politik yang penuh dengan intrik dan kepalsuan. Inilah politik penyamaran identitas untuk mengelabui sebagian rakyat yang bisa ia kelabui.
Ada juga mereka yang membangun ‘Citra Diri’ seolah – olah dekat dengan orang kecil. Menyuapi makan fakir miskin, merangkul nenek sepuh, dan peduli pada yatim. Padahal selama ini jalan pikiran dan jalan perbuatan dalam membuat produk politik banyak yang menyusahkan rakyatnya dan melahirkan yatim – yatim baru. Kalau hal ini dipertanyakan oleh rakyatnya sendiri, biasanya sebagian mereka pada jurus menghindar dengan berbagai dalih dan argumen politik sebagai pembenaran diri.
Rakyat kita perlu terus diajarkan pendidikan politik yang cerdas dan berintegritas. Meskipun tentu bukan perkara yang mudah, karena politik transaksional telah berlangsung lama dan seolah seperti sudah mengakar dan membudaya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa panggung politik banyak dihiasi oleh mereka kaum ‘pemilik modal’. Meskipun sebenarnya ada banyak kader anak bangsa yang potensial namun karena mereka tidak memiliki modal finansial akhirnya tersisihkan dan terdampar di pinggir kehidupan.
Jika kita memilih seseorang karena uang yang telah dibagikannya, maka kita telah berkontribusi memelihara praktek kecurangan, manipulasi dan korupsi. Lihatlah jejak langkah pengabdian mereka selama ini kepada masyarakat. Jangan hanya dilihat dekat kepada rakyat hanya saat mau pemilu saja. Jika mereka dekat dan turun ke masyarakat hanya saat mendekati pemilu saja, maka itulah kedekatan semu yang hanya melahirkan para pemimpin yang tidak memiliki ikatan batin dengan rakyatnya. Bagaimana kita bisa berharap mereka bisa menyalurkan aspirasi rakyatnya jika mereka tidak memiliki ikatan batin dengan rakyat yang diwakilinya?
Coba tataplah mereka yang di poster – poster itu tampak ramah tersenyum sumringah, padahal terkadang sebagian saat menerima keluh kesah rakyatnya dihadapi dengan wajah ketus penuh kebencian. Itulah di berbagai kesempatan, para kaum cerdik cendekia memiliki kewajiban moral untuk membuka wawasan politik rakyat yang mencerdaskan dan mencerahkan. Jangan malah terjebak turut mewarnai ‘dusta politik ‘ dengan perilaku dan ucapan yang membodohi rakyat. Kaum cerdik cendekia memiliki kapasitas intelektual berlandaskan nilai-nilai moral untuk membangun peradaban manusia yang luhur dan berkarakter.
Mari kita semua gaungkan tekad untuk memperbaiki peradaban bangsa dengan cara sederhana, yaitu pilihlah calon pemimpin dan calon wakil kita yang bermoral, cerdas dan berintegritas sebagai bentuk kecintaan kita terhadap bangsa dan negara.