OPINI
Oleh LUTFIL HAKIM (Ketua PWI Jatim)
Judul tulisan ini (HPN) merupakan akronim dari kosakata Hari Pers Nasional yang diperingati setiap tanggal 9 Februari. Tahun ini puncak peringatan HPN akan digelar 9 Februari di Kota Medan. Sepekan lagi.
Tetiba hari ini (3/2) kita dikagetkan peristiwa penembakan kepada Rahimandani, pimpinan media massa (RMOL) di Bengkulu oleh orang tak dikenal. Dor..! korban terkulai tak berdaya. Kabarnya, peluru menyasar lengan – tembus ke badan bagian kiri.
Polisi masih mengusut motif penembakan, termasuk apakah terkait konten berita, atau ada urusan lain di luar tanggungjawabnya sebagai pimpinan media massa.
Jika terkait konten jurnalistik, sungguh miris kehidupan pers kita. Terlebih peristiwa anarkis ini terjadi sepekan menjelang puncak peringatan HPN di Kota Medan.
Peristiwa barbar itu akan mendistorsi signifikan hasil Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) nasional pada 2022 lalu yang meningkat 1,86 poin, yang itu sekaligus mempertahankan kenaikan IKP selama lima tahun terakhir. Survei IKP – 2022 ini bahkan mengkategorikan kehidupan pers nasional ‘cukup bebas’.
Survei yang melibatkan 340 responden dari kalangan ahli dan 10 anggota National Assessment Council (NAC) pada 2022 lalu itu, lebih menekankan pada jumlah kasus kekerasan sebagai salah satu indikator kebebasan pers. Misalnya posisi ‘rendah’ IKP Jawa Timur di survei IKP 2022 itu, nampaknya dikontribusi oleh kasus kekerasan terhadap wartawan Tempo di Surabaya.
Hanya saja hasil survei IKP 2022 itu kurang pas. Sebab jika salah satu indikator utamanya didasarkan jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis di sebuah provinsi, maka hasilnya tentu akan bias. Belum tentu Provinsi yang tergolong tinggi IKP – nya sudah bebas merdeka kehidupan pers-nya. Sebab bisa saja secara kebetulan dalam setahun kerja survei, produk jurnalistik di kawasan itu landai – landai saja, sehingga tidak memancing kekerasan terhadap jurnalisnya.
Atau bisa saja justru kehidupan jurnalis di sebuah provinsi berada dalam ‘tekanan‘ kekuatan tertentu, oligarki, atau oknum pejabat, sehingga terpaksa pers menempatkan dirinya sebagai friendly journalism. Jika demikian kondisinya, apakah nihilnya kekerasan tersebut sudah tepat dijadikan sebagai ukuran IKP.
Jika tidak hati – hati membuat definisi tentang ‘pers berdaya’, atau definisi tentang IKP, justru berbahaya bagi kehidupan demokrasi itu sendiri. Setidaknya bagi kehidupan pers.
Menurut hemat penulis, semakin banyak tindak kekerasan kepada pekerja pers, justru semakin menunjukkan adanya kekuatan pers. Artinya fungsi kontrol sosial (watchdog) sebagai amanat UU Pers Pasal 3 cukup diperhitungkan. Bukan diabaikan. Jika benar kasus penembakan Bengkulu terkait konten berita, maka perlu korbannya diacungi jempol karena sudah membawa pers lebih berdaya.
Di sebuah negara yang kuat praktek oligarkinya – seperti Indonesia, makin sulit berharap adanya pers kritis. Harusnya survei IKP menempatkan poin ‘fungsi kontrol pers’ sebagai backbone indicator, wujud tanggung-jawab terhadap UU Pers No,40 TH 1999 Pasal 3 ayat 1 dan Pasal 6 ayat 1 – 5.
Gubernur dan pejabat di daerah yang secara terbuka meminta kepada pers untuk selalu dikritik, perlu mendapatkan poin besar dalam mengukur tingkat IKP. Pola – pola profesional dalam menyelesaikan masalah saat terjadi sengketa berita dengan wartawan, misalnya, perlu mendapatkan poin positif untuk IKP – nya.
Maka itu kita sangat kehilangan tokoh selevel Azyumardi Azra. Meski hanya sebentar di Dewan Pers, tapi ada catatan penting yang ‘’wajib’’ diperhatikan dan ‘’harus’’ dilaksanakan oleh kalangan pers, yakni semangatnya menjadikan pers nasional sebagai ‘mitra kritis pemerintah’.
“Dewan Pers akan Jadi Mitra Kritis Pemerintah,” kata Azyumardi Azra (akrab disapa Prof Edy/Prof Azra) dalam satu seminar di Hall Dewan Pers – Jakarta, Jumat (3/6). “Pers perlu mendukung kebijakan positif pemerintah. Namun jika dirasa ada kebijakan yang tidak tepat, wajib bagi pers memberi masukan.”
Statemen Ketua Dewan Pers itu seolah ‘’wasiat’’ bagi kalangan pers untuk senantiasa menjalankan peran watchdog terhadap jalannya pemerintahan, di tengah makin lemahnya kontrol sosial oleh oposisi dan kendornya peran opsiner oleh civil society.
Sebagaimana UU Pers – Pasal 3, selain fungsi menerangi dan mencerdaskan, tugas lain pers adalah sebagai kontrol sosial (watchdog). Diksi kontrol di sini bermakna sebagai alarm, mencegah terjadinya ketimpangan serta ketidak-adilan, terutama akibat penyelewengan kekuasaan seperti; praktek KKN, otoriter, oligarki, serta political relations with other deviant practices.
Prof Azra seolah berpesan, diktum UU Pers yang mayoritas berisi moral-force, wajib dipertaruhkan oleh praktisi pers – sebagaimana amanat Pasal 6, yakni wajib menegakkan demokrasi dan supremasi hukum, menghormati kebhinekaan & HAM, melakukan pengawasan – kritik – koreksi terkait kepentingan umum, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Artinya, pers wajib kritis – terutama pada ”kebijakan” yang disponsori para pihak yang bergumul dalam kelentan oligarki. Pers wajib ‘menghadang’ kebijakan hasil praktek political connections antara penguasa dan pemburu rente. Pers harus berani, apapun resikonya. Karena di sanalah letak marwah tertinggi pers. Independensi harga mati.
Pers wajib melindungi segenap bangsa dari segala bentuk kebijakan berbasis keserakahan. Meski para oligar kini banyak menelusup ke sendi – sendi kepemilikan perusahaan pers, tapi insan pers wajib busung dada untuk tidak terkooptasi dalam membela kebenaran. Insan pers wajib mengambil jarak tegas dengan pemilik modal tempatnya bekerja. Jangan ada praktek ‘pengkondisian berita’ hanya untuk kepentingan mendapatkan iklan.
Dalam dunia jurnalistik ada istilah fire-wall atau pagar api. Maksudnya, news-room harus memiliki batas tegas dengan ruang usaha (non-redaksi). Manajemen perusahaan tidak boleh mengarahkan kebijakan redaksi dengan alasan apapun, apalagi bermotif pendapatan iklan.
Meski dalam satu perusahaan, awak redaksi dan non-redaksi adalah dua hal yang berbeda. Awak redaksi diikat oleh aneka peraturan lain di luar ketentuan perusahaan. Mereka (jurnalis) memiliki kode etik sendiri (KEJ) yang harus dipatuhi, ada peraturan Dewan Pers yang mengikat, termasuk persyaratan lolos uji kompetensi (UKW). Awak redaksi harus berdiri tegak secara independen.
Sikap Prof Azra ini harusnya menjadi semangat bagi seluruh komisioner (Anggota) Dewan Pers terkait perlindungan wartawan dalam menjalankan peran kritisnya. Imunitas pers dan keselamatan jurnalis dari jerat hukum harusnya menjadi prioritas dibanding hanya ribut soal verifikasi media. Menjadi percuma jika masih ada jurnalis yang sudah lolos UKW – bahkan level utama, tapi produk beritanya masih bisa dihukum dengan UU non-Pers.
Keberadaan pers sangat dibutuhkan masyarakat, terutama di tengah situasi kekacauan ruang publik yang terkontaminasi oleh berita – berita non-jurnalistik, berita hoax dan ujaran kebencian. Publik butuh hadirnya pers cerdas, yang bisa mengkonstruksi narasi jurnalistik secara fair, profesional, faktual, taat KEJ, verifikatif, obyektif, relevan, komprehensif, proporsional, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, serta membela kebenaran dan keadilan – sebagai pusat referensinya.
Ruang publik kini seperti belantara buzer – yang siap menghajar siapa saja, termasuk wartawan yang dinilainya kritis terhadap bohir-nya. Bahkan pola perlawanan buzer bukan dengan narasi ilmiah – logis sebagai tandingan berita yang dibuat oleh wartawan, tapi justru menggunakan bahasa dan diksi murahan – bahkan bersifat menyerang pribadi. Berita kritis berkualitas karya jurnalistik, dihajar oleh buzer dengan narasi opini murahan. Ini justru menjadikan posisi pers lemah dan takut menjalankan fungsi watchdog-nya.
Sebaiknya Dewan Pers, dalam membuat definisi tentang IKP lebih mengacu kepada nilai – nilai perjuangan yang diamanatkan UU Pers, serta prinsip dan nilai luhur profesi pers. Pers harus kritis dan perlu terus-menerus didorong untuk berani. Jika perlindungan terhadap pers dan jurnalis lemah secara hukum, maka jangan harap fungsi watchdog pers – sebagaimana diharapkan UU Pers, bisa terwujud.
Dewan Pers perlu membuat kehidupan pers nasional lebih kuat, berani dan berdaya. Perlu ada semacam awarding, misalnya, sebagai motivasi bagi jurnalis yang pernah dikriminalisasi secara hukum oleh pihak – pihak korup yang merasa dirugikan secara berita. Atau award kepada jurnalis yang pernah mendapatkan kekerasan pisik akibat tulisannya.
Bukan hanya itu. Jika perlu Dewan Pers membuat peraturan tentang ratio tinggi berapa minimal konten berita kritis dalam sebuah media, sebagai persyaratan utama bagi pengajuan verifikasi perusahaan pers. Buat apa meloloskan verifikasi perusahaan media yang hanya karena memenuhi persyaratan normatif: berbentuk PT, UKW dan BPJS, tapi keberadaannya justru menjadi corong kelompok kepentingan dan para oligarki atau hanya sebagai pencatat berita positif saja.
Memang , tingkat IKP tinggi sangat diperlukan bagi pers nasional sebagai tolok ukur demokrasi. Tapi variabel ukurannya mesti disempurnakan secara tepat, subtantif dan seimbang. Jangan biarkan pers berusaha memenuhi persyaratan Dewan Pers hanya untuk mendapatkan kue iklan dari badan pemerintah – yang ujungnya hanya menjadi media darling, atau menjadi penakut tidak dapat iklan, lemah, dan memilih kompromistis bias. Akibatnya rakyat juga yang dirugikan, kehilangan haknya mendapatkan berita jujur, benar dan proporsional.
Maka itu, peristiwa penembakan kepada pimpinan media pers di Bengkulu perlu menjadi refleksi bagi para profesi wartawan di Peringatan HPN 2023 di Medan, sepekan depan. Perlu ada semacam rekomendasi kritis dari acara HPN terkait penguatan konten pers dalam konteks perannya sebagai watcdog. Jangan hanya berdiskusi soal media di era disrupsi dari tahun ke tahun. Sebab itu hanya soal platform distribusi konten pers. Sedangkan konten pers adalah kasta tertinggi yang perlu terus – menerus dikuatkan. (*)