PERSADARIAU, PEKANBARU – Sepanjang delapan bulan terakhir, ada tiga nama anggota DPRD Provinsi Riau yang diketahui mengelola kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan.
Pertama EB, ia memiliki kebun sawit seluas 180 hektare di dalam kawasan hutan di Kabupaten Kampar. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung, oknum DPRD Riau ini dinyatakan bersalah atas gugatan Yayasan Riau Madani.
Kedua S, nama sang legislator ini muncul saat penertiban Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Dia dikabarkan mengelola kebun kelapa sawit seluas 311 hektare. Kini lahan garapannya, telah disita Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).
Ketiga KS, eks anggota DPRD Pekanbaru ini disebut-sebut menggarap ratusan hektare kebun sawit dalam kawasan hutan. Kabar itu ramai diperbincangkan seusai Polda Riau menyegel lahan perkebunan di Kabupaten Kuantan Singingi.
Sungguh miris, pejabat yang diamanahkan sebagai wakil rakyat di Riau justru terlibat dalam perbuatan yang berpotensi merugikan keuangan negara.
Fenomena itu menggelitik pita suara sejumlah kalangan. Praktisi hukum Arisona Suganda Hasibuan SH mengemukakan pendapatnya terkait penegakan hukum.
Menurutnya, tidak cukup dengan menerapkan ruang relaksasi yang diberikan Undang Undang Cipta Kerja atas keterlanjuran. Sebab lahan tersebut dikelola secara melawan hukum.
“Penegak hukum merupakan representasi negara sebagai eksekutorial. Jadi, dalam hal penindakan harus mampu menjerat pelaku dengan aturan hukum sesuai perbuatannya,” ucap Arisona, Rabu (9/7/25).
Pembukaan lahan dan alih fungsi hutan secara masif terjadi karena lemahnya penegakan hukum, kurangnya pengawasan atau ada oknum yang memfasilitasi.
“Bisa kita lihat bersama, selama ini para oligarki tidak tersentuh hukum. Kuat dugaan mereka mendapat perlakuan khusus dari pihak yang berkepentingan,” imbuhnya.
Ditengah hiruk pikuk penertiban kawasan hutan. Arisona mengatakan, pemerintah mesti mencari solusi yang bisa diterima semua pihak untuk meminimalisir konflik.
“Pemerintah harus punya formulasi dan klasifikasi yang benar-benar bijak, akomodatif terhadap kaum marginal dan kalangan bawah yang terdampak penertiban kawasan hutan,” ujar Arisona.
“Tidak sedikit dari mereka yang kerap menjadi “Korban” eksekusi itu adalah kalangan akar rumput yang selalu menggantungkan hidup pada aktivitas yang menurut negara dilarang,” sambungnya.
Oleh karenanya, eksistensi negara sangat penting terhadap suatu kebijakan terutama dalam hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Mengamati persoalan lahan hutan yang dikuasai segelintir legislator, Ketua DPD Satgasus KPK Tipikor Provinsi Riau Julianto turut angkat bicara.
Ia menilai, terhadap para pihak yang telah menguasai dan menggarap lahan hutan harus dikenakan sanksi hukum sesuai dengan peraturan perundang undangan.
“Jangan hanya karena sudah mengaku salah ataupun menyerahkan kembali lahan itu ke pemerintah, lalu tidak diganjar sebentuk hukuman,” ucap Julianto.
Sebab, lahan hutan yang dieksploitasi dan dikuasai individu secara ilegal menyebabkan hilangnya potensi penerimaan negara dari sektor kehutanan.
Pendapatan itu, lanjut Julianto, berupa iuran pemanfaatan hutan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
“Bertahun-tahun mereka nikmati hasil dari perkebunan sawit ilegal. Sudah berapa banyak kerugian negara yang ditimbulkan,” bebernya.
Tindak pelanggaran tersebut menabrak sejumlah regulasi, diantaranya Undang Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang Undang Tipikor; Pasal 2 dan 3, serta Pasal 55 KUHP.
“Perbuatan pelaku tergolong kejahatan luar biasa dan diduga terindikasi pencucian uang. Aparat hukum harus berani menjerat para pihak dengan hukuman pidana disertai pemulihan kerugian negara,” pungkasnya.
Sus

