PERSADARIAU, PELALAWAN — Gelombang protes dari aktivis lingkungan dan masyarakat nelayan pesisir di Kabupaten Pelalawan dipastikan akan menguat dalam beberapa hari ke depan. Mereka berencana menggelar aksi unjuk rasa terkait matinya ribuan ikan di Sungai Kampar pada Minggu lalu yang memicu keresahan luas di kalangan masyarakat pesisir.
Para aktivis dan warga menilai kematian ikan dalam jumlah besar tersebut bukan peristiwa alami. Mereka menolak pernyataan penegak hukum lingkungan (Gakkum PPLH) yang sebelumnya menyebut bahwa insiden tersebut disebabkan oleh limbah MCK masyarakat serta sisa pakan ikan dari keramba.
Menurut warga, penjelasan itu dianggap tidak masuk akal dan tidak sesuai kondisi lapangan. Sejumlah tokoh masyarakat pesisir menyebut dugaan utama mereka mengarah pada aktivitas industri besar di sekitar wilayah sungai.
“Kami tidak menerima kesimpulan yang menyalahkan masyarakat. Warga hidup dari sungai, bukan merusaknya. Ada dugaan kuat bahwa pencemaran ini terkait kegiatan perusahaan besar di hulu,” ujar salah satu perwakilan aktivis lingkungan, Jaka Endang kepada Persadariau, Senin (1/12/2025) disalah satu Coffe shop di Pangkalan Kerinci.
Warga juga menyoroti sikap DLH Kabupaten Pelalawan yang dinilai terlalu cepat mengeluarkan pernyataan yang meringankan pihak perusahaan seperti PT RAPP dan APR. Mereka menilai respons lembaga pemerintah cenderung defensif dan kurang berpihak kepada masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada sumber daya Sungai Kampar.
Sejumlah nelayan mengaku mengalami kerugian besar akibat insiden tersebut. Banyak keramba mereka mengalami kematian massal, sementara hasil tangkapan di sungai menurun drastis sejak kejadian.
“Kami kehilangan sumber penghasilan dalam semalam. Sungai ini nadi kehidupan kami. Kalau rusak, maka rusak juga hidup kami,” kata seorang nelayan di Kelurahan Pelalawan.
Jaka menuntut oknum DLH Pelalawan harus meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat Desa Sering atas pernyataan yang dianggap telah melukai hati masyarakat luas.
” Kalau DLH mengatakan itu bukan limbah, coba minum airnya. Dan pihak DLH harus minta maaf atas pernyataannya yang bilang kalau matinya ikan disebabkan MCK warga,” ujarnya kesal.
Ratusan tahun sebelum berdirinya pabrik PT RAPP dan PT APR, lanjutnya, nenek moyang mereka telah hidup dengan memanfaatkan air sungai Kampar untuk kebutuhan sehari-hari.
Sejak dulu, kata Jaka masyarakat menggunakan air sungai Kampar untuk dikonsumsi seperti masak makanan maupun mandi.
Rencana aksi unjuk rasa saat ini tengah disusun oleh gabungan aktivis lingkungan, tokoh masyarakat adat, serta kelompok nelayan. Mereka menuntut investigasi independen, keterbukaan informasi lingkungan, serta penegakan hukum yang adil tanpa keberpihakan.
Hingga berita ini disusun, pihak perusahaan terkait dan instansi pemerintah belum mengeluarkan pernyataan lanjutan atas desakan warga tersebut. Sementara itu, masyarakat pesisir menegaskan bahwa aksi akan tetap digelar hingga tuntutan mereka mendapat kepastian.
FA

