PERSADARIAU, PEKANBARU – Audit yang dilakukan Polda Riau bersama BPKP dalam kasus dugaan korupsi SPPD fiktif di Sekretariat DPRD Riau, telah rampung.
Berdasarkan 11.000 dokumen SPPD termasuk tiket pesawat, bill hotel dan data lainnya. Ditemukan kerugian negara sebesar Rp195,9 miliar.
Selain hotel yang disebut sebagai tempat menginap, penegak hukum juga melakukan verifikasi 40.015 tiket pesawat dari tiga maskapai yakni Garuda Indonesia, Lion Air Group dan Citilink Indonesia.
Hasilnya hanya 1.911 tiket yang valid, sebanyak 38.104 tiket lagi dinyatakan fiktif. Setakat ini Polda Riau belum menjelaskan secara rinci mengenai tiket fiktif tersebut.
Guna menggali informasi lebih dalam perihal tiket-tiket fiktif. Persadariau menghubungi Direktur Ditreskrimsus Polda Riau Kombes Pol Ade Kuncoro, (28/8/25).
Namun, Perwira Polri ini tidak menanggapi telepon dan pesan singkat yang dikirim kepadanya via aplikasi perpesanan.
Proses hukum perkara dugaan korupsi perjalanan dinas tersebut mendapat sorotan dari praktisi hukum Arisona Suganda Hasibuan SH.
Menurutnya meskipun pembatasan kegiatan diberlakukan pada masa Covid-19 mewabah. Namun roda pemerintahan harus tetap berjalan.
Pihak pemerintah yang berkepentingan tetap wajib melaksanakan tugas termasuk perjalanan dinas, yang mungkin dibolehkan menggunakan jalur penerbangan dengan mematuhi regulasi tentang penanganan pandemi.
“Tiket yang valid itu bisa saja memang digunakan untuk keperluan tugas, selama mengikuti ketentuan-ketentuan yang diwajibkan pada masa covid, seperti Swab Test dan Sejenisnya,” ujar Arisona, Jum’at (29/8/25).
Kemudian, Arisona juga menyoroti terkait tiket pesawat yang dinyatakan fiktif. Dikatakannya, pernyataan tersebut bermakna ambigu alias sumir.
Mestinya Penyidik menjelaskan apa dan bagaimana teknis serta modus operandi yang diduga dilakukan pelaku sehingga frasa dan defenisi “Fiktif” itu jelas dan terang.
Ia mencontohkan, yang disebut tiket fiktif dapat diartikan tiket yang diduga direkayasa menyerupai bentuk asli sebagaimana yang dikeluarkan maskapai penerbangan.
Padahal tiket tersebut sebelumnya tidak pernah diterbitkan, baik yang dibeli melalui biro perjalanan maupun langsung dari maskapai tertentu.
“Tiket yang tadinya tidak ada, lalu diada-adakan atau ditiru. Boleh jadi ini dilakukan beberapa oknum secara melawan hukum agar terkesan resmi dan valid dengan pola tiket-tiket tersebut dikeluarkan secara resmi oleh Maskapai tertentu atau melalui biro perjalanan,” terang Arisona.
“Dalam kondisi ini timbul dugaan pemalsuan, ada indikasi upaya merugikan maskapai dengan meniru tiket asli. Perbuatan itu juga turut merugikan negara, lantaran menguras keuangan negara untuk penyediaan tiket tersebut,” sambungnya.
Definisi lain tiket fiktif, kata Arisona, adalah tiket resmi dari maskapai penerbangan. Namun tidak teregistrasi secara menyeluruh prosedurnya.
Lalu, produk milik maskapai disalahgunakan sebagai pelengkap administrasi tanpa melakukan perjalanan udara oleh individu yang namanya tercantum di tiket.
“Barangnya (tiket) ada dan resmi dikeluarkan oleh Maskapai namun diduga keras dimanipulasi secara bersama-sama oleh oknum maskapai atau biro travel dan pihak pemesan. Sehingga meskipun status tiketnya resmi namun tidak valid karena tidak terdaftar di manifes penerbangan,” beber Arisona.
Ditambahkannya, tiket resmi yang memang digunakan untuk melakukan perjalanan udara akan diregistrasi ke manifes penerbangan.
Seluruh data penumpang yang telah terverifikasi nantinya akan dilaporkan oleh petugas Bandara secara rill kepada pihak yang berwenang.
“Kenapa harus terdaftar? Karena itu langkah identifikasi data penumpang yang akan terhubung ke seluruh instansi terkait sebuah penerbangan, seperti Keimigrasian, Bea Cukai, Pencegahan Terorisme,” tandasnya.
Sus