Oleh: R. Faisal Rokan
PERSADARIAU, OPINI — Fenomena cuaca ekstrem yang melanda berbagai wilayah Indonesia dalam beberapa waktu terakhir kembali memantik diskursus publik. Banjir, hujan intensitas tinggi, suhu panas ekstrem, dan angin kencang tidak hanya dipahami sebagai peristiwa alam, tetapi juga ditarik ke ranah geopolitik global.
Di ruang-ruang diskusi digital, muncul kembali tuduhan adanya campur tangan asing—khususnya Amerika Serikat melalui teknologi seperti HAARP (High-Frequency Active Auroral Research Program) sebagai alat tekanan terhadap negara-negara yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan Barat.
Narasi ini menarik, provokatif, dan emosional. Namun pertanyaannya, apakah ia kuat secara analitis, atau justru melemahkan posisi kritis masyarakat terhadap kekuasaan global yang sesungguhnya? Antara kecurigaan yang sah dan kesimpulan yang keliru.
Tidak dapat dipungkiri, kecurigaan terhadap Amerika Serikat dan sekutunya memiliki dasar historis. Intervensi politik, perang proksi, sanksi ekonomi, hingga operasi intelijen adalah bagian dari sejarah panjang geopolitik modern. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, pernah dan masih merasakan dampaknya dalam berbagai bentuk.
Namun, kecurigaan historis tidak otomatis membenarkan semua tuduhan, terlebih jika tidak didukung bukti ilmiah. Dalam konteks HAARP, klaim bahwa teknologi ini mampu memicu cuaca ekstrem, bencana alam, atau mengendalikan iklim global tidak pernah terbukti secara ilmiah.
HAARP adalah fasilitas riset ionosfer dengan daya yang sangat kecil jika dibandingkan dengan energi alamiah badai, sistem awan, atau dinamika atmosfer tropis.
Menghubungkan cuaca ekstrem di Indonesia dengan HAARP bukan hanya spekulatif, tetapi juga secara fisika atmosfer tidak masuk akal.
Masalah sebenarnya kekuasaan Global tidak bekerja lewat “Senjata Cuaca”. Ironisnya, fokus berlebihan pada HAARP justru mengaburkan bentuk tekanan geopolitik yang benar-benar nyata dan efektif.
Dominasi global hari ini tidak lagi bergantung pada invasi militer langsung atau teknologi fiksi ilmiah, melainkan melalui:
Perang informasi dan narasi Opini publik dibentuk melalui media global, lembaga riset, LSM internasional, dan algoritma platform digital.
Tekanan ekonomi dan finansial Sanksi, ketergantungan mata uang, lembaga keuangan internasional, dan arus investasi menjadi alat kendali yang sangat efektif.
Kontrol teknologi strategis Mulai dari data, satelit, kecerdasan buatan, hingga rantai pasok energi dan semikonduktor.
Isu lingkungan dan iklim sebagai instrumen politik Standar global, pembiayaan hijau, dan skema transisi energi sering kali tidak netral dan sarat kepentingan.
Inilah bentuk hegemoni modern yang nyata, terukur, dan berdampak langsung terhadap kedaulatan negara berkembang.
Bahaya Sosial dari Narasi Konspirasi
Narasi konspirasi seperti HAARP tidak hanya lemah secara ilmiah, tetapi juga membawa dampak sosial yang serius. Mengalihkan perhatian publik dari akar masalah sesungguhnya, seperti kerusakan lingkungan, tata ruang yang buruk, dan kebijakan pembangunan yang abai terhadap daya dukung alam.
- Melemahkan literasi sains dan kepercayaan terhadap data.
- Membuat kritik terhadap kekuasaan global kehilangan kredibilitas.
- Justru menguntungkan pihak-pihak yang ingin masyarakat sibuk dengan mitos, bukan struktur kekuasaan yang nyata.
- Dalam konteks ini, narasi konspirasi bukan bentuk perlawanan, melainkan jebakan intelektual.
Cuaca Ekstrem: Alarm Nyata yang Harus Dijawab Secara Nyata
Cuaca ekstrem di Indonesia lebih tepat dipahami sebagai akumulasi dari:
- Perubahan iklim global
- Dinamika atmosfer tropis
- Kerusakan ekosistem
- Urbanisasi tak terkendali
- Lemahnya mitigasi dan adaptasi kebijakan
Menyederhanakannya menjadi “campur tangan asing” tidak hanya keliru, tetapi juga berbahaya karena menghambat solusi.
Kritik kuat butuh dasar yang kuat
menjadi kritis terhadap hegemoni global adalah sikap yang sah dan perlu. Namun kritik yang kuat harus berdiri di atas analisis yang kuat, bukan asumsi yang rapuh. Negara berkembang tidak akan berdaulat dengan mempercayai mitos teknologi, tetapi dengan:
- Memperkuat literasi sains
- Menguasai data dan teknologi strategis
- Menata ulang kebijakan lingkungan dan pembangunan
- Membaca geopolitik secara jernih, bukan emosional dalam dunia yang semakin kompleks, musuh terbesar nalar bukanlah kekuasaan global, melainkan ilusi tentang bagaimana kekuasaan itu bekerja.

