PERSADARIAU, PEKANBARU — Enam April yang bertepatan dengan Hari Nelayan Nasional hanya melintas seperti hari biasa di Riau. Gubernur Riau tidak memberi kado manis bagi keselamatan laut dan nelayan tradisional. Tidak ada ucapan selamat, seremoni, atau hadiah kebijakan untuk nelayan di Riau. Bahkan harapan nelayan tradisional di Desa Suka Damai dan Desa Titi Akar, Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis untuk melaut dan melakukan aktivitas tangkap secara tenang belum dipenuhi Gubernur Riau. Keresahan para nelayan di dua desa tersebut berakar dari keberadaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) pasir laut atas nama PT Logomas Utama (LMU) di wilayah tangkap mereka.
Even Sembiring, Direktur Eksekutif WALHI Riau coba mengingatkan persoalan yang dihadapi oleh para nelayan tradisional di Desa Suka Damai dan Desa Titi Akar, Kecamatan Rupat Utara, Kabupaten Bengkalis. Keberadaan IUP pasir laut atas nama PT LMU telah eksis sejak 1999. Pasca perubahan rezim peraturan perundangan terkait tambang, kuasa pertambangan PT LMU dilakukan penyesuaian menjadi IUP melalui Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Riau Nomor: 503/DPMPTSP/IZIN-ESDM/66 pada 29 Maret 2017.
”Konflik terkait keberadaan IUP tersebut mulai terjadi sekitar September 2021 ketika PT LMU tiba-tiba menyedot pasir laut di sekitar Pulau Babi dan Beting Aceh. Para nelayan di Desa Suka Damai dan Desa Titi Akar menolak keberadaan aktivitas tambang di laut yang merupakan wilayah tangkap mereka. Gubernur Riau dan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) sebenarnya telah mengambil tindakan positif guna meredam konflik tersebut,” sebut Even Sembiring.
Berdasarkan catatan WALHI Riau, Gubernur Riau pada 12 Januari 2022 mengirim surat kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Surat tersebut berisi permohonan pencabutan IUP PT LMU. Gubernur Riau mendasarkan permohonan tersebut pada tiga alasan penting, yaitu (1) keberadaan lokasi IUP berada di wilayah tangkap nelayan tradisional, merusak ekosistem laut, dan mendorong laju abrasi Pulau Rupat; (2) lokasi IUP berada di wilayah Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) dan Kawasan Strategis Kawasan Pariwisata Kabupaten; dan (3) penerbitan IUP dilakukan atas dokumen AMDAL dan Izin Lingkungan yang sudah kedaluwarsa.
Dalam surat tersebut, Gubernur Riau juga menyatakan bahwa ketika IUP diterbitkan, kewenangan perizinan masih di tangan Gubernur (Pemerintah Provinsi). Namun ketika konflik terjadi, Pemerintah Provinsi Riau tidak lagi mempunyai kewenangan di bidang perizinan mineral dan batu bara, karena sudah dicabut oleh Pasal 169C huruf g Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Perpres Nomor 55 Tahun 2022 sebagai Dasar Gubernur Riau Memenuhi Komitmennya
Pasca Gubernur Riau mengirim surat kepada Menteri ESDM, terdapat beberapa perkembangan positif atas desakan pencabutan IUP PT LMU. Pada 14 Februari 2022, Kementerian KP melalui Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Dirjen PSDKP), dan Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (Dirjen PRL) melakukan penghentian aktivitas tambang pasir PT LMU. Alasannya karena aktivitas tambang PT LMU tidak dilengkapi dengan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL), dan diduga menimbulkan abrasi yang mengakibatkan kerusakan terumbu karang dan juga kerusakan padang lamun. Penghentian aktivitas ini diikuti Surat Menteri KP pada 4 April 2022 kepada Menteri ESDM yang berisi permintaan evaluasi IUP PT LMU dengan alasan Pulau Rupat masuk dalam Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) dan berada dalam wilayah Kawasan Strategis Nasional Tertentu.
”Sepanjang proses tersebut, dari Gubernur Riau hingga Menteri KP meminta Menteri ESDM untuk mencabut IUP PT LMU, masyarakat terus berupaya menyelamatkan wilayah tangkapnya. Dalam catatan kami, pada 23 Maret 2022, nelayan tradisional di Desa Suka Damai dan Desa Titi Akar mengirim surat kepada Presiden dan Menteri ESDM untuk mencabut IUP tersebut. Bahkan pada pertengahan September 2022 melaporkan keberadaan IUP yang belum dicabut tersebut kepada Kementerian Kelautan Perikanan (KKP), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kantor Staf Presiden dan Kementerian Koordinator Politik Hukum dan HAM (Kemenkopolhukam). Selain itu, kami bersama perwakilan nelayan Rupat juga melakukan demonstrasi di Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba),” jelas Even Sembiring.
Selama proses pertemuan dengan Kemenkopolhukam, Tim WALHI Riau dan masyarakat mengetahui bahwa telah terbit Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara (Perpres 55/2022). Pihak Kementerian mengatakan bahwa Perpres ini seharusnya memungkinkan Pemerintah Provinsi untuk melakukan evaluasi bahkan pencabutan terhadap perizinan tambang yang cacat hukum dan ditolak masyarakat.
Perpres 55/2022 merupakan turunan Pasal 35 ayat (4) UU Nomor 3 Tahun 2020 dan Pasal 6 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1), (3), (5), (9) Perpres 55/2022 disebutkan Pemerintah Provinsi mempunyai kewenangan untuk (1) pemberian izin komoditi mineral bukan logam, mineral bukan logam jenis tertentu, dan batuan dalam rangka penanaman modal dalam negeri yang berada dalam 1 (satu) daerah provinsi atau wilayah laut sampai dengan 12 (dua belas) mil laut; (2) kewenangan pengawasan; dan (3) pembinaan atau pemberian sanksi administratif.
Ketentuan di atas memperlihatkan Gubernur atau Pemerintah Provinsi Riau telah mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan, evaluasi hingga penjatuhan sanksi administratif terhadap keberadaan IUP PT LMU di laut bagian utara Pulau Rupat. Jasmi, Ketua Dewan Daerah WALHI Riau menegaskan bahwa Gubernur dan Pemerintah Provinsi Riau harus memaknai Perpres 55/2022 sebagai dasar hukum untuk memenuhi janjinya.
”Apabila pada Januari 2022, Gubernur Riau mengirim surat dan merekomendasikan kepada Menteri ESDM untuk mencabut IUP PT LMU, maka terbitnya Perpres 55/2022 merupakan peluang bagi Gubernur untuk menunaikan sendiri niat baiknya untuk melindungi nelayan tradisional dan wilayah tangkapnya di laut bagian utara Pulau Rupat,” tegas Jasmi.
WALHI Riau memandang pencabutan IUP PT LMU merupakan kebijakan baik yang harus digesa Gubernur Riau. Kebijakan ini akan memberi perlindungan maksimal bagi nelayan tradisional Pulau Rupat yang secara konsisten menjaga laut dengan tetap menggunakan alat tangkap ramah lingkungan. Kebijakan tersebut juga turut memastikan kelestarian dan keanekaragaman hayati laut, keindahan destinasi wisata, hingga memastikan keamanan Rupat sebagai pulau terluar.