PERSADARIAU, PEKANBARU — Pemerintah Provinsi Riau abai menindaklanjuti komitmen konservasi laut yang di pondasikan pada Keputusan Gubernur Riau Nomor Kpts.565/II/2019 tentang Pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Daerah Rupat Utara Kabupaten Bengkalis. Keputusan ini terbit pada 15 Februari 2019, ketika Gubernur Riau dijabat oleh Wan Thamrin Hasyim.
Keputusan terbit tepat lima hari sebelum Syamsuar-Edy A. Natar Nasution dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Riau. Artinya, lebih dari empat tahun Pemerintah Riau di bawah kepemimpinan Gubernur Syamsuar belum mampu menindaklanjuti maupun berkoordinasi untuk menyegerakan penetapan Konservasi Perairan Taman Pesisir di laut Rupat bagian utara.
Even Sembiring, Direktur Eksekutif WALHI Riau, menyebut Pemerintah Provinsi Riau mempraktikkan kebijakan setengah hati terkait komitmen perlindungan lingkungan hidup. Riau Hijau yang didefinisikan sebagai komitmen dalam optimalisasi pengelolaan sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam pembangunan berkelanjutan patut dipertanyakan keseriusannya.
” Hampir empat tahun pemerintahan Gubernur Syamsuar tidak banyak mengubah rupa pengelolaan sumber daya alam. Tetap dalam situasi krisis, baik di darat maupun di laut, Riau masih didominasi korporasi. Bahkan menindaklanjuti kebijakan baik pada periode sebelumnya tidak mampu dimaksimalkan. Salah satunya akselerasi penetapan Kawasan Konservasi Perairan Daerah Rupat Utara,” sebut Even.
Pasca diterbitkannya Keputusan Gubernur Riau Nomor Kpts.565/II/2019 tidak terdengar langkah serius Pemerintah Provinsi Riau untuk mendorong penetapan kawasan tersebut sebagai Kawasan Konservasi Perairan. WALHI Riau menilai Pemerintahan Syamsuar setengah hati mengambil tindakan dan kebijakan dalam upaya penyelamatan Pulau Rupat dan lautnya dari ancaman bencana ekologis. Satu-satunya tindakan tegas yang diambil Gubernur Riau adalah mengirim surat kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Surat yang diterbitkan tanggal 12 Januari 2022 itu berisi permohonan pencabutan IUP PT Logomas Utama (LMU). Gubernur Riau mendasarkan permohonan tersebut pada tiga alasan penting, yaitu (1) keberadaan lokasi IUP berada di wilayah tangkap nelayan tradisional, merusak ekosistem laut, dan mendorong laju abrasi Pulau Rupat; (2) lokasi IUP berada di wilayah Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) dan Kawasan Strategis Kawasan Pariwisata Kabupaten; dan (3) penerbitan IUP dilakukan atas dokumen AMDAL dan Izin Lingkungan yang sudah kedaluwarsa.
” Surat ini sama sekali tidak memuat perihal lokasi yang ditambang PT LMU berada di areal yang sudah dicadangkan sebagai kawasan konservasi perairan yang akan dikelola sebagai Taman Pesisir,” ujar Even.
Keputusan Gubernur Riau Nomor Kpts.565/II/2019 ini menyatakan terdapat 15.547 ha yang dialokasikan sebagai kawasan konservasi, dengan rincian 14.133,50 ha berada di area perairan dan 1.413,58 ha berada di greenbelt (pesisir). Dari awal proses pencadangan area ini, Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir & Laut (BPSPL) Padang dan beberapa stakeholder telah mengidentifikasi adanya ancaman tambang pasir laut yang dilakukan oleh PT Logomas Utama.
“Pasca terbitnya Perpres Nomor 55/2022 yang mendelegasikan kembali sebagian kewenangan pertambangan kepada pemerintah provinsi, seharusnya Gubernur Riau dengan tegas melihatnya sebagai peluang. Permintaan pencabutan Izin Usaha Pertambangan PT LMU yang disampaikannya kepada Menteri ESDM pada 12 Januari 2022 seharusnya dapat dieksekusinya sendiri. Terlebih tersiar kabar, PT LMU sedang berupaya mengaktifkan kembali aktivitas tambang pasir lautnya, tegas Even.
Mendesak KKP Bertindak Aktif Menindaklanjuti Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Rupat
Lampiran I angka 101 Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) menentukan Pulau Rupat merupakan salah satu PPKT. Penetapan ini berkonsekuensi menjadikan Rupat masuk dalam Kawasan Strategis Nasional Tertentu (KSNT). Pulau Rupat juga telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) oleh Kementerian Pariwisata melalui Peraturan Presiden (PP) Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional. Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (DJPRL) Tahun 2021 secara tegas menyebut Keputusan Gubernur Riau Nomor Kpts.565/II/2019 masih eksis dan lokasinya tetap masuk sebagai kawasan yang dicadangkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKD).
Proses berlarut dalam penetapan kawasan konservasi perairan ini harus disikapi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan aktif menyegerakan proses ini. Penyesuaian dengan peraturan saat ini, pengintegrasian rencana zonasi dalam rencana tata ruang yang artinya laut utara Rupat bukan lokasi yang disiapkan sebagai wilayah pertambangan.
Eko Yunanda, Manajer Pengorganisasian dan Keadilan Iklim WALHI Riau, menyebut seharusnya Pemerintah Provinsi Riau menindaklanjuti keputusan pencadangan wilayah konservasi perairan Rupat Utara tersebut untuk ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan.
” Kawasan perairan yang dicadangkan sebagai wilayah konservasi harus diusulkan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk ditetapkan. Namun, sejak awal sampai saat akan berakhirnya kepemimpinan Gubernur Syamsuar, kami belum mendapat informasi apakah proses tersebut telah dilakukan atau tidak. Belum diambilnya keputusan tegas pencabutan IUP PT LMU semakin membuat kami ragu akan komitmen Syamsuar untuk menjaga kelestarian Pulau Rupat dan sekitarnya,” kata Eko.
Penelusuran WALHI Riau hanya menemukan fakta BPSPL Padang telah melangsungkan koordinasi pra survei untuk penyusunan Rencana Pengelolaan dan Zonasi (RPZ) Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Taman Pesisir Rupat Utara pada 24 Februari 2022. Ini merupakan tindak lanjut pasca terbitnya Keputusan Gubernur Riau Nomor Kpts.565/II/2019.
Baik WALHI Riau maupun masyarakat Rupat, khususnya para nelayan tradisional, terus mendorong agar Pemerintah Provinsi Riau dan Kementerian Kelautan dan Perikanan saling bersinergi menyelamatkan laut utara Rupat.
Selain meminta ketegasan agar segera menetapkan wilayah perairan utara Pulau Rupat sebagai wilayah konservasi perairan, kami bersama para nelayan Rupat juga menuntut Gubernur Riau untuk segera mencabut izin PT Logomas Utama sebagaimana janjinya di Januari 2022 lalu dalam surat permohonannya kepada Kementerian ESDM tentang pencabutan IUP PT LMU, tutup Eko.