PERSADARIAU, PEKANBARU – Ketua DPD LSM Gerakan Pemantau Kinerja Aparatur Negara (Gempur) Provinsi Riau, Hasanul Arifin, mulai gerah dengan pelaku tambang ilegal yang tak terkendali di Riau.
Dalam wawancara dengan media, Arief menyayangkan tambang ilegal ini beroperasi layaknya tambang yang ada izin, bahkan katanya terkesan seperti tidak bisa ditindak aparat penegak hukum (APH), selain itu Arief menyoroti dana program Pengendalian dan Pencemaran Lingkungan Hidup di Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau.
“Berdasarkan data saya, anggaran belanja untuk program pengendalian dan pencemaran lingkungan hidup ada puluhan miliar, kemana uang APBD ini dibelanjakan sementara melihat sungai Kelawaran di Inhu sangat rusak parah, bahkan nyaris tertutup lumpur akibat tambang emas,” katanya Kamis (21/12/23).
Hal tersebut juga berdampak buruk terhadap keselamatan penambang liar, ini terbukti dengan banyak kejadian dari aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) ini yang telah membahayakan keselamatan dan telah menimbulkan korban jiwa, baik terhadap orang lain ataupun para penambang itu sendiri.
“Lain dari itu dampak terhadap potensi terjadinya kerusakan lingkungan hidup tentunya ini hal yang pasti terlebih bila kegiatan tambang ilegal itu berada dalam kawasan hutan,” katanya.
Lanjut Arief, sangat besar kemungkinan potensi terjadinya banjir, longsor, hingga berkurangnya kesuburan tanah di sekitar lokasi serta gangguan sosial dan keamanan dapat terjadi. Kemudian akibat ambisius penambang ilegal ini tentunya menyebabkan rawan kebakaran lahan.
“Selain itu kegiatan peti ini tentu juga akan merugikan perekonomian negara, seperti dari sisi pendapatan bidang perizinan, juga sisi pendapatan bidang pajak jelas tidak ada dari sektor tersebut dan sudah merugikan keuangan negara,” katanya melanjutkan wawancara dengan tim Jurnalis
Tentunya, sambung Bung Arief, yang dipanggil dikalangan aktivis ini “diduga dari hasil pendapatan (dana haram) dari Peti ini pengalir kepada sejumlah oknum-oknum di daerah sekitar wilayah lokasi tambang tersebut”.
“Yang terburuk sekali pemulihan dari dampak kerusakan lingkungan yang ditanggung oleh negara akan sangat besar, dan anggaran di DLHK Riau yang kabarnya puluhan miliar itu kemana,” katanya.
Hal ini seharusnya menjadi perhatian khusus dari aparat penegak hukum terutama dari Dinas LHK yang berafiliasi dengan Gakkum.
“Secara logika saya, mustahil kegiatan tersebut tidak diketahui dan sulit terdeteksi, mengingat lokasi area penambangan yang begitu luas serta peralatan arus lalu lintas yang digunakan seperti alat berat yang tidaklah sekecil seperti bungkus ‘paket narkoba’ serta tidak sedikitpun terlihat kegiatan ini ada rasa ketakutan atau kecemasan diketahui aparat penegak hukum setempat, sebagaimana rasa takut dan cemas dari penjual barang terlarang narkoba,” katanya melanjutkan wawancara.
Oleh karena itu kata Bung Arief, “tentunya kita masyarakat ingin melihat keseriusan dari oknum-oknum aparat penegak hukum terkait keberpihakannya untuk kepentingan negara, agar beban yang ditanggung negara nantinya tidak bertambah lebih besar, namun dapat menjadi pendapatan negara yang dapat diandalkan”.
“Jangan sampai nantinya imej masyarakat akan liar dan bias berkembang ke mana-mana. Karena ada dugaan keterlibatan oknum-oknum penegak hukum setempat dalam melindungi para penambang peti ini,” katanya.
Kadis DLHK Riau, Mamun Murod, Kamis (21/12/23) belum berikan penjelasan terkait dana puluhan miliar APBD Provinsi Riau yang dikucurkan untuk program pengendalian dan pencemaran lingkungan hidup, Program pemanfaatan dan penggunaan kawasan serta program perlindungan rehabilitasi hutan dan lahan, dimana setiap tahunnya dikabarkan dan ini mengucur. Sementara Gakkum Riau dikonfirmasi tak menjawab.**/sus