PERSADARIAU, KAMPAR – Dugaan jual beli lahan didalam hutan kawasan kembali terjadi di Desa Sungai Sarik, Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Lahan dengan luas ratusan hektare itu akan dialih fungsikan menjadi perkebunan sawit pola KKPA (Kredit Koperasi Primer Anggota) yang diduga tidak mengantongi izin pelepasan kawasan hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Berdasarkan surat keterangan hibah yang ditandatangani oleh Kepala Desa Sungai Sarik dan sekelompok ninik mamak pucuk penguasa adat ulayat koto dan antakkanjadi tertanggal 30 Mei 2022, menjadi bukti kesepakatan antara pemodal dan pemuka masyarakat.
Dari seorang operator excavator yang bekerja di lokasi tersebut, media mendapat informasi bahwa benar di atas lahan itu akan ada ditanami tanaman kelapa sawit.
“Saya tak punya alat (excavator, red) bang, saya cuma kerja disini. Tapi memang saya ada masukkan alat orang kesini untuk kerja juga”, ucap operator alat berat kepada awak media melalui telepon (20/02/23).
“Saya tidak tau masyarakat mana saja yang akan menjadi anggota KKPA nya bang, Sungai Sarik ini sedikit cuma warganya bang. Jadi entah dari lagi anggota koperasi itu karena lahan ini luasnya hampir 1000 hektare yang dikerjakan sekarang”, ungkap operator.
Dengan berkedok kelompok tani, para pemodal disinyalir telah mencoba mengelabui masyarakat Desa Sungai Sarik. Hal ini diungkapkan Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Gerakan Komunitas Pemberantas Korupsi Nasional (GKPK NAS).
“Di dalam pengurus kelompok tan itu tidak diikutsertakan anak cucu dan kemanakan dari Datuk di Desa Sungai Sarik. Melalui Badan Usaha (PT NMK) mengajukan pelepasan kawasan hutan seluas 11000 hektare”, kata Wasekjen itu pada wartawan, Kamis pagi (2/3/23).
“Penggunaan kawasan hutan ada mekanismenya, untuk alih fungsi hutan bisa melalui cara Izin Pelepasan Kawasan Hutan dan IPPKH (Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan). Dan ini dapat dikatakan sah apabila telah disetujui oleh Menteri LHK” tambah Wasekjen GKPK Nas.
Ia menjelaskan, ada sanksi denda dan ancaman pidana untuk pelaku penebangan hutan, alih fungsi lahan hutan secara ilegal. Sesuai yang di atur dalam Pasal 50 dan Pasal 78 Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999. Peraturan ini adalah upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari, pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan.
Terpisah, sesuai keterangan mantan Ketua Asosiasi Hutan Tanaman Rakyat Riau tahun periode tahun 2010 sampai 2015, Syafri Effendi Nasution.
“Bahwa lokasi itu tidak di peruntukkan tanaman kelapa sawit, hanya bisa di jadikan sebagai HTR (Hutan Tanaman Rakyat)”, tegas Syafri.
Syafri meminta kepada Menteri Kehutanan Republik Indonesia, ibu Siti Nurbaya, agar lebih teliti memproses berkas permohonan yang mengatasnamakan kelompok tani tersebut. (Tim)