Penulis : Andi Salim
PERSADARIAU, OPINI — Secara teoritis, istilah rezim ini tidak mengandung implikasi apapun tentang pemerintahan tertentu yang dirujuknya, dan kebanyakan ilmuwan politik menggunakannya sebagai sebuah istilah yang netral. Namun istilah ini sering digunakan dalam budaya populer dengan pengertian negatif atau menghina, sebagai rujukan kepada pemerintah yang dianggap menindas, tidak demokratis atau tidak sah, sehingga dalam konteks ini, kata tersebut mengandung makna penolakan moral ataupun oposisi politik.
Dalam istilah politik, rezim adalah bentuk pemerintah atau seperangkat aturan, norma budaya atau sosial, dan lain-lain. Yang mengatur operasional suatu pemerintah atau lembaga dan interaksinya dengan masyarakat. Sehingga pengertian rezim adalah tata pemerintah negara atau pemerintahan yang berkuasa. Dimana didalamnya terdapat legitimasi kekuasaan dengan bidang-bidang dari sektor kekuasaan itu sendiri.
Pembagian kekuasaan adalah salah satu konsep pengelolaan pemerintahan. Dimana Pembagian kekuasaan ini merupakan upaya mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan pada satu orang atau lembaga tertentu. Maka demi hal itu setiap lembaga harus menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing.
Tersebarnya kekuasaan atas bidang-bidang dan kelembagaan itu tentu harus dicermati sebagai etalase dari satu kesatuan kekuasaan atas jalannya suatu operasional kepemerintahan, sehingga para pemangku kekuasaan itu sekaligus merupakan cermin kegagalan atau keberhasilan dari kinerja pemerintahan yang menjadi orde tempat mereka dalam memerankan tugas dan fungsinya.
Kekuasaan yang tersebar itu akan diduduki oleh mereka yang berasal dari partai-partai, relawan-relawan, atau pendukung lain sebagai support pada pemenangan pilpres yang diperebutkan, bahkan dapat juga mereka berasal dari profesional yang diakui kecakapannya dalam bidang tertentu.
Namun apapun bentuknya dan dari manapun mereka berasal, ketika mereka duduk pada suatu rezim orde tertentu, mereka akan menjadi bagian dari faktor koalisi atas pemerintahan yang berkuasa saat ini. Sebab Pemerintah tidak bisa berjalan, jika masalah kenegaraan yang fundamental mengalami rong-rongan atau malah diobrak-abrik jika para pemangku kekuasaan dan badan peradilan terkesan diam pada persoalan ini.
Jika hal ini terus didiamkan, dan para pemangku kekuasaan yang tersebar itu hanya bergantung kepada elektabilitas hingga terpilihnya, hanya kepada seorang Presiden semata, maka yang akan terjadi adalah pemimpin tertinggi dari lembaga-lembaga kekuasaan itu, akan menjadi pusat tujuan dari kritik para oposisi dan perlawanan terhadap pemerintahan suatu rezim.
Tersudutkannya pemerintah bahkan lebih spesifik mengarahkannya kepada Jokowi selaku presiden atas berbagai tudingan dan ujaran kebencian sudah bukan merupakan kritik yang membangun, namun bisa kita pahami sebagai ujaran kebencian dan fitnah yang berselimutkan kebebasan berpendapat atau pemahaman agama yang keliru.
Namun seakan mencari keuntungan dan takut akan tekanan publik, mereka hanya berlindung dibalik nama besar Jokowi serta malah sering hanya menjadi penonton dari keadaan itu sambil menunggu sekiranya ada momentum tepuk tangan apabila terdapat kemenangan argumentatif atau tindakan persuasif yang diambil melalui sikap presiden tersebut.
Padahal dari banyak sejarah rezim di dunia ini dan dari pemerintahan atau kekuasaan manapun, jika rezimnya tumbang maka sudah barang tentu sederet pengikutnya pun akan bernasib yang sama bahkan tidak jarang ikut dikucilkan dan dihukum pula bersama presidennya saat itu.
Jika saat ini mereka sedang santai dan menikmati hidangan sarapan pagi disebuah hotel atau duduk dipinggir pantai dengan kopi hangatnya, maka kita akan menyaksikan betapa tekanan publik yang saat ini hampir memenuhi ruang media sosial akan mendarat sebagai hamparan penolakan dari rezim ini, dimana kelemahan itu bukan berasal dari Jokowi selaku presiden, tetapi bersumber dari peran mereka yang sama sekali akut dengan rasa malas dan tidak responsif terhadap persoalan yang mengemuka saat ini.
Penulis berharap agar Presiden Jokowi memahami tulisan ini untuk segera memikirkan Resufle demi perampingan Kementrian dan Lembaga yang ada, bukan jumlah pejabat yang banyak akan menentukan keberhasilan, tapi sedikit namun kuatnya memancarkan hasil kerjalah yang akan menentukan penilaian publik kepada pemerintahan saat ini.
Jangan memikul beban balas Budi pada saat pilpres yang lalu secara berlebihan, sehingga menampung mereka sebagai pejabat yang saat ini tidak kreatif dan inovatif dan cenderung menjadi penikmat kekuasaan semata, sebab masih banyak pihak-pihak yang justru lebih militan dan belum tertampung untuk menggantikan mereka, sebaiknya dilakukan penyegaran demi tujuan tersebut agar militansi ini tidak punah dimakan kenestapaan dan harapan semata.