PERSADARIAU, PEKANBARU — WALHI Riau menyayangkan pernyataan Kapolri, Jenderal Listyo Sigit Prabowo soal relokasi dan ganti rugi terhadap masyarakat sudah dilakukan oleh BP Batam dengan proses musyawarah. Faktanya sejak awal masyarakat menolak ganti rugi dan relokasi, karena keputusan memberikan seluruh lahan kepada investor adalah sikap yang tidak memihak kepada rakyat dan berdampak pada 16 kampung tua suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat yang sudah bermukim di Pulau Rempang setidaknya sejak 1834.
“Kapolri perlu memeriksa informasi dari pihak masyarakat agar berimbang, karena dalam proses musyawarah tersebut, kita tidak tahu siapa yang terlibat, terkait ganti rugi dan relokasi tidak ada data yang pasti tentang daftar penerima,” ujar Ahlul Fadli, Kordinator Media dan Penegakan Hukum WALHI Riau.
Ahlul Fadli menyebutkan, masyarakat ditutup aksesnya oleh pemerintah, saat ini keresahan masyarakat tidak didengar oleh pemerintah dan mereka terisolasi dari lingkungan sekitar.
“Persoalan Pulau Rempang ini tidak sesederhana bicara relokasi dan ganti rugi, tetapi ada penolakan dari warga untuk digusur dari tanah kelahirannya. Ini yang jadi persoalan utama. Pendekatan kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian juga telah melanggar HAM dan melanggar standar HAM di kepolisian” Kata Ahlul.
Ia menyebutkan pemerintah terjebak dalam paradigma pembangunan yang usang, pemerintah belum mampu mengintegrasikan kewajiban mereka untuk melindungi hak-hak dasar manusia dengan kewajiban mereka untuk melakukan Pembangunan.
Penetapan Rempang Eco City tidak melalui konsultasi atau tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang terdampak langsung dari proyek ini. Sampai hari ini belum ada kesepakatan yang dicapai antara masyarakat Rempang dan BP Batam, namun rencana pengukuran lahan dari BP Batam Bersama TNI dan Polri terus berjalan. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Kepala BP Batam bersama Komisi VI DPR pada 5 September lalu menyebutkan, anggaran untuk relokasi masih dalam tahap pengajuan dan harus melalui persetujuan Menkeu dan Presiden.
Adanya Invetasi skala besar melalui Badan Pengusahaan (BP) Batam yang memberikan hak pengelolaan tanah seluas 17.000 hektar ke PT Makmur Elok Graha (MEG) anak perusahaan milik pengusaha kondang Tomy Winata pada tahun 2004. Lalu PT MEG diberi izin untuk mengembangkan Rempang menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB). Investasi ini menjadi petaka bagi Pulau Rempang.
Ahlul mengatakan, diperkirakan 13.000 sampai dengan 20.000 jiwa dari 16 kampung menjadi korban relokasi, investasi skala besar memperparah risiko bencana dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat. Dengan keterbatasan ruang dan sumber daya alam, investasi itu dapat mengancam pasokan pangan dan air bersih, menciptakan bencana kemanusiaan yang serius. Luas Pulau Rempang kurang-lebih 165 km persegi, Pulau Rempang masuk ke dalam kategori pulau kecil berdasarkan definisi UU No. 27 Tahun 2007 jo UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Jika TNI dan Polri tetap melakukan penertiban dengan kekerasan, konflik akan membesar dan berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM berat,” tutup Ahlul Fadli.