PERSADARIAU, PEKANBARU —Jikalahari apresiasi Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Majelis Hakim, salah satunya menerima dan mengabulkan penghitungan kerugian lingkungan hidup akibat pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup (kerugian ekologis) termasuk biaya sosial korupsi dalam unsur kerugian perekonomian negara.
Pada 23 Februari 2023 Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menghukum Surya Darmadi penjara 15 tahun, denda Rp 1 miliar dan pidana tambahan Rp 2,24 triliun dan membayar kerugian perekonomian negara sebesar Rp 39,75 triliun karena terbukti melakukan Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang dalam perkara sawit dalam kawasan hutan.
“Ini pertama kali penghitungan kerugian ekologis diterima dan dikabulkan oleh Majelis Hakim dalam perkara korupsi sumberdaya alam, khususnya korupsi sektor kehutanan,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari, “KPK saja dalam perkara korupsi Nur Alam gagal menyakinkan Hakim menerima penghitungan kerugian ekologis. Padahal ahli yang menghitung kerugian ekologis dalam perkara Surya Darmadi dan Nur Alam adalah ahli yang sama yaitu Basuki Wasis. Mengapa Kejagung berhasil menyakinkan Hakim dan KPK gagal?”
“ini pertama kalinya juga korupsi sawit dalam kawasan hutan dikenai pidana pencucian uang. Dan Majelis Hakim menerima dan mengabulkan harta kekayaan Surya Darmadi berasal dari perusahaan yang illegal karena berada dalam kawasan hutan,” kata Made Ali.
Catatan Jikalahari sepanjang 2006 – 2023, KPK lebih dominan menangani perkara korupsi sektor sumberdaya alam khususnya kehutanan:
Pertama, pada 2006 – 2007, Suwarna Abdul Fatah (Gubernur Kalimantan Timur) dan Martias (pemilik SDG) tersangka korupsi Izin Pengelolaan Kayu (IPK) kawasan hutan untuk 10 perusahaan yang tergabung dalam Surya Dumai Grup (SDG). Negara rugi Rp 346 M dari penebangan kayu tanpa IPK. Suwarna divonis 1,5 tahun penjara, denda Rp 250 juta. Martias divonis penjara 1,6 tahun, denda Rp 500 juta, uang pengganti Rp 346 Miliar.
Kedua, pada 2008 – 2014, korupsi kehutanan Riau melibatkan Tengku Azmun Jaffar (Bupati Pelalawan), Arwin AS (Bupati Siak), 3 Kepala Dinas Kehutanan Riau dan Gubernur Riau menerbitkan IUPHHK-HT di atas hutan alam untuk 20 korporasi HTI terafiliasi APP dan APRIL Grup, merugikan negara senilai Rp 1,3 triliun. Mereka divonis hukuman penjara 2 – 14 tahun.
Ketiga, pada 2014 – 2015, KPK OTT Annas Maamun (Gubernur Riau) dan Gulat Manurung (Akademisi Unri) dalam perkara suap alih fungsi kawasan hutan untuk perkebunan sawit milik Darmex Agro (perubahan RTRWP Riau).
Selain Darmex Agro dan Gulat Manurung, Edison Marudut juga menyuap Anas Maamun. Gulat Manurung memiliki lahan seluas 1.188 hektar di Kabupaten Kuantan Singingi dan seluas 1.214 hektar di Rokan Hilir. Edison Marudut memiliki lahan seluas 120 hektar di Bengkalis. Darmex Agro seluas 18 ribu hektar untuk 4 perusahaan di Indragiri Hulu. Semua lahan itu berada dalam kawasan hutan yang hendak dilepaskan melalui perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan Ranperda RTRW Riau. Annas Maamun dan Gulat Manurung menerima Rp 3 Miliar dari Rp 8 Miliar yang dijanjikan Darmex Agro (milik Surya Darmadi). Mereka divonis hukuman 3 – 7 tahun penjara.
Kempat, pada 2017, Nur Alam (Gubernur Sulawesi Tenggara) tersangka suap dan gratifikasi izin tambang. Nur Alam divonis kasasi 12 tahun penjara, denda Rp 750 juta dan pidana tambahan uang pengganti Rp 2,7 miliar. Majelis Hakim kasasi menolak unsur kerugian negara senilai Rp 1,5 triliun termasuk di dalamnya kerugian ekologis.
Kelima, pada 2018, KPK OTT Direktur PT Binasawit Abadi Pratama (BAP) atau Wadirut PT SMART, COE PT BAP dan Manajer Legal anak perusahaan Sinar Mas Grup (milik taipan Eka Tjipta Wijaya) di Kalimantan Tengah. Mereka divonis 1,8 tahun penjara, denda Rp 100 juta.
Keenam, pada 2019 KPK menetapkan PT Palma Satu, Suheri Terta, Surya Darmadi (owner Darmex Agro), tersangka korupsi pemberian hadiah atau janji terkait pengajuan revisi alih fungsi hutan di Provinsi Riau kepada Kementerian Kehutanan Tahun 2014. Suheri Terta divonis 3 tahun penjara, denda Rp 50 juta oleh Majelis Hakim Kasasi pada 2021. PT Palma Satu dan Surya Darmadi masih berstatus sebagai tersangka.
“Sepanjang 17 tahun KPK menangani perkara korupsi sektor kehutanan yang berkaitan dengan sawit, sepanjang itu pula KPK tidak berani menggunakan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) padahal UU TPPU sudah ada sejak 2002 dan diperbarui pada 2010. Temuan lainnya, KPK juga gagal menetapkan korporasi dan pemilik sebagai tersangka dalam perkara korupsi kehutanan maupun yang berkaitan dengan sawit dalam kawasan hutan,” kata Made Ali
Oleh karenanya atas prestasi Kejagung menggunakan korupsi dan TPPU melawan kejahatan sumberdaya alam, KPK perlu melakukan evaluasi kembali untuk menetapkan korporasi dan pemiliknya sebagai tersangka dengan mengenakan pidana korupsi dan pencucian uang. rls/**